· Pengertian
politik negara, kekuasaan, pengambil keputusan, kebijakan umum, distribusi
kekuasaan
A.
Pengertian politik negara
Ilmu
politik mempelajari suatu segi khusus dari kehidupan masyarakat yang menyangkut
soal kekuasaan. Tumpuan kajian ilmu politik adalah bermacam-macam kegiatan
dalam suatu proses sistem politik (negara) yang menyangkut proses menentukan
tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan tersebut (Miriam
Budiharjo, 1992). Sistem itu menurut Deliar Noer (1983) meliputi sistem
kekuasaan, wibawa, pengaruh, kepentingan, nilai, keyakinan dan agama,
pemilikan, status dan sistem ideologi.
Menurut
Syarbani (2002:13), tumpuan kajian ilmu politik adalah upaya-upaya memperoleh
kekuasaan, mempertahankan kekuasaan, penggunaan kekuasaaan, dan bagaimana
menghambat penggunaan kekuasaan. Dengan demikian dilihat dari aspek kenegaraan,
ilmu politik mempelajari negara, tujuan negara, dan lembaga negara, serta
hubungan kekuasaan baik sesama warga negara, hubungan negara dengan warga
negara, dan hubungan antar negara. Apabila dilihat dari aspek kekuasaan ilmu
politik mempelajari kekuasaan dalam masyarakat, yaitu sifat, hakikat, dasar,
proses, ruang lingkup, dan hasil dari kekuasaan itu. Dilihat dari aspek
kelakuan, ilmu politik mempelajari kelakuan politik dalam sistem politik yang
meliputi budaya politik, kekuasaan, kepentingan, dan kebijakan.
Melihat
penjelasan di atas, kajian ilmu politik meliputi: (1) teori ilmu politik, (2)
lembaga-lembaga politik (undang-undang dasar, pemerintahan nasional,
pemerintahan daerah, fungsi ekonomi dan sosial dari pemerintah dan perbandingan
lembaga-lembaga politik), (3) partai politik, dan (4) hubungan internasional.
Minimal
ada enam hal yang ditekankan dalan ilmu politik, yaitu kekuasaan, negara,
pemerintahan, fakta-fakta politik, kegiatan politik, organisasi masyarakat.
Sedangkan obyek ilmu politik meliputi dua hal yaitu, (1) material (obyek ini
berwujud pada perjuangan memperoleh dan mempertahankan kekuasaan dengan obyek
negara, kekuasaan, pemerintah, fakta-fakta politik, kegiatan politik, dan
organisasi masyarakat). dan (2) formal (pengetahuan, pusat perhatian). Dengan
demikian, Syarbaini menyimpulkan ada lima konsep tentang ilmu politik, yaitu
(1) sebagai usaha-usaha yang ditempuh warga negara untuk membicarakan dan
mewujudkan kebaikan bersama, (2) segala hal yang berkaitan dengan
penyelenggaraan negara dan pemerintah, (3) segala kegiatan yang diarahkan untuk
mencari dan mempertahankan kekuasaan, (4) kegiatan yang berkaitan dengan
perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum, dan (5) sebagai konflik dalam rangka
mencari dan mempertahankan sumber-sumber yang dianggap penting.
Sementara
itu, menurut Maran (1999) politik merupakan studi khusus
tentang cara-can manusia memecahkan permasalahan bersama
dengan manusia yang lain. Dengan kata lain, politik merupakan bermacam-macam
kegiatan dalam suatu sistem politik atau negara yang menyangkut proses
penentuan dan pelaksanaan tujuan-tujuan. Untuk melaksanakan tujuan itu perlu
ditentukan kebijakan-kebijakan umum yang menyangkut pengaturan dan pembagian
atau alokasi sumber-sumber dan berbagai sumber dava vang ada. Untuk itu
diperlukan kekuatan {power) dan kewenangan {aiitliorlty). yang
dipakai baik untuk membina kerja sama rnaupun untuk menyelesaikan konflik yang
mungkin timbul dalam proses tersebut. Kekuasaan itu bisa dipakai secara
persuasif bisa juga secara koersif (paksaan) Definisi lebih sederhana tetapi
padat dapat dilihat dari pendapatnya Surbakti (1999) yang mengcitakan bahwa
konsep politik merupakan intcraksi antara pemerintah dan masyarakat dalam
rangka proses pcmbuatan dan pdaksanaan keputusan yang mengikat tentang kebaikan
bersama masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertcntu.
Arti
politik yang terekam dari berbagai referensi ilmu politik disimpulkan terdapat
tiga penjelasan. Pertama, rnengidentifikasikan
kategori-kategori aktivitas yang membentuk politik. Dalam hal ini Paul Conn
menganggap konflik sebagai esensi politik. Kedua, menyusun
suatu rumusan yang dapat merangkum apa saja yang dapat dikategorikan sebagai
politik. Politik dapat dirumuskan sebagai “siapa mendapat apa, kapan dan
bagaimana”. Ketiga, menyusun daftar pertanyaan yang harus
dijawab untuk memahami politik. Melalui daftar pertanyaan diharapkan dapat
memberi jawaban dengan gambaran yang tepat mengenai politik (Surbakti, 1992).
Jadi
politik akan terkait dengan kekuasaan, negara dan pengaturan hidup bersama dalam
upaya mencapai kebaikan bermasyarakat. Selain
itu, dapat diketahui bahwa konsep-konsep pokok yang dipelajari ilmu politik
adalah negara {state), kekuasaan (power), pengambilan
kebijakan (decision making), kebijaksanaan (policy,
beleiri), dan pembagian (di’-tribution), atau
alokasi (allocation).
Singkatnya,
ilmu politik selain mempelajari tentang interaksi antara pemerintah dan
masyarakat untuk membicarakan dan mewujudkan kebaikan bersama, yang berkaitan
dengan penyelenggaraan negara dan pemerintah melalui perumusan dan Pelaksanaan
kebijakan umum, juga membicarakan tentang berbagai upaya perebutan mencari dan
mempertahankan kekuasaan.
Menurut
Weber, sosiologi harus bebas nilai (value free), tidak bias
kepentingan atau keyakinan moral pribadi. Bias personal harus dihindari selama
melakukan riset ilmiah. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin objektivitas
kebenaran sosiologi.
Dari
konseptualisasi sosiologis yang disumbangkan oleh para tokoh ilmu
sosial, selanjutnya dijadikan pijakan dalam merumuskan
ruang lingkup sosiologi
politik. Dalam operasionalnva, cakupan materi sosiologi politik
terwujud dalam beberapa hal: (1) sosialisasi politik; (2) partisipasi politik;
(3) perekrutan politik; (4) komunikasi politik.
1.
Sosialisasi Politik
Sosialisasi
politik adalah suatu proses agar setiap individu atau kelompok
dapat mengenali sistem politik dan menentukan sifat persepsi-persepsinya
mengenai politik serta reaksi-reaksinya terhadap fenomena-fenomena politik.
Kerja
sosialisasi politik meliputi pemeriksaan mengenai lingkungan kultural,
lingkungan politik dan lingkungan sosial individu maupun kelompok. Dengan
demikian, sosialisasi politik merupakan landasan sosiologi politik selain yang
terpenting juga memegang peranan utama dan pertama bagi setiap tindakan
politik.
2.
Partisipasi Politik
Partisipasi
politik ialah keterlibatan individu atau kelompok pada level terendah sampai
yang tertinggi dalam sistem politik. Hal ini berarti bahwa partisipasi politik
merupakan bentuk konkret kegiatan politik yang dapat mengabsahkan seseorang
berperan serta dalam sistem politik.
Dengan
demikian, maka setiap individu atau kelompok yang satu dengan yang lainnya akan
memiliki perbedaan-perbedaan dalam partisipasi politik; sebab partisipasi
menyangkut peran konkrit politik di mana seseorang akan berbeda perannya,
strukturnya dan kehendak dari sistem politik yang diikutinya.
3.
Perekrutan Politik
Pengrekrutan
politik adalah suatu proses yang menempatkan seseorang dalam jabatan politik setelah
vang bersangkutan diakui kredibilitas dan lovalitasnya. Perekrutan politik
merupakan konsekuensi logis dalam memenuhi kesinambungan sistem politik dan
adanva suatu sistem politik yang hidup dan berkembang.
Dalam
operasionalnya, perekrutan politik dapat ditempuh melalui dua jalan. Pertama, perekrutan
yang bersifat formal yakni ketika seseorang menduduki jabatan politik direkrut
secara terbuka melalui ketetapan-ketetapan yang bersifat umum dan
ketetapan-ketetapan itu disahkan
secara bersama-sama. Perekrutan ini dilaksanakan
melalui seleksi atau melalui pemilihan. Kedua, perekrutan
tidak formal yakni usaha seseorang tanpa suatu proses terbuka sehingga
seseorang itu mendapatkan kesempatan atau mungkin didekati orang lain untuk
diberi posisi-posisi tertentu.
4.
Komunikasi Politik
Komunikasi
politik ialah suatu proses penyampaian informasi politik pada setiap individu
anggota sistem politik atau informasi dari satu bagian sistem politik kepada
bagian yang lainnya, dan informasi yang saling diterima di antara sistem-sistem
sosial dengan sistem-sistem politik.
Informasi
tersebut bersifat terus-menerus, bersifat pertukaran baik antara individu,
individu ke kelompok maupun kelompok ke kelompok yang dampaknya dapat dirasakan
oleh semua tingkatan masyarakat. Informasi itu bisa dalam bentuk harapan,
kritikan, reakasi-reaksi masyarakat terhadap sistem politik dan pejabat
politik. Atau suatu harapan, ajakan, janji dan saran-saran pejabat politik
kepada masyarakatnya yang berdampak terhadap perubahan atau nwmperteguh
tindakan-tindakan politiknya agar dilaksanakan stau tidak dilaksanakan.
Landasan-landasan di atas
merupakan proses-proses politik yang mesti ada dan berjalan dalam suatu sistem
politik dan embaga-lembaga politik ketika akan, dan pasti, berurusan dengan
B.
Pengertian pengambilan keputusan
Para pakar
memberikan pengertian keputusan sesuai dengan sudut pandang dan latar belakang
pemikirannya. Menurut James A.F. Stoner, keputusan adalah pemilihan di
antara berbagai alternatif. Definisi ini mengandung tiga pengertian, yaitu: (1)
ada pilihan atas dasar logika atau pertimbangan; (2) ada beberapa alternatif
yang harus dipilih salah satu yang terbaik; dan (3) ada tujuan yang ingin
dicapai dan keputusan itu makin mendekatkan pada tujuan tersebut. Pengertian
keputusan yang lain dikemukakan oleh Prajudi Atmosudirjo bahwa keputusan adalah
suatu pengakhiran daripada proses pemikiran tentang suatu masalah dengan
menjatuhkan pilihan pada suatu alternatif. Dari pengertian keputusan tersebut
dapat diperoleh pemahaman bahwa keputusan merupakan suatu pemecahan masalah
sebagai suatu hukum situasi yang dilakukan melalui pemilihan satu alternatif
dari beberapa alternatif. Setelah dipahami pengertian keputusan,
selanjutnya dikutipkan pendapat para pakar mengenai pengertian pembuatan atau –
yang sering digunakan – pengambilan keputusan. Menurut George R. Terry
pengambilan keputusan adalah pemilihan alternatif perilaku (kelakuan) tertentu
dari dua atau lebih alternatif yang ada. Kemudian, menurut Sondang P. Siagian
pengambilan keputusan adalah suatu pendekatan yang sistematis terhadap hakikat
alternatif yang dihadapi dan mengambil tindakan yang menurut perhitungan
merupakan tindakan yang paling cepat. Selanjutnya, menurut James A. F. Stoner
pengambilan keputusan adalah proses yang digunakan untuk memilih suatu tindakan
sebagai cara pemecahan masalah.
Berdasarkan
pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pengambilan keputusan merupakan
suatu proses pemilihan alternatif terbaik dari beberapa alternatif secara
sistematis untuk ditindaklanjuti (digunakan) sebagai suatu cara pemecahan
masalah.
Pengambilan keputusan sebagai kelanjutan dari cara pemecahan masalah memiliki fungsi sebagai pangkal atau permulaan dari semua aktivitas manusia yang sadar dan terarah secara individual dan secara kelompok baik secara institusional maupun secara organisasional. Di samping itu, fungsi pengambilan keputusan merupakan sesuatu yang bersifat futuristik, artinya bersangkut paut dengan hari depan, masa yang akan datang, dimana efek atau pengaruhnya berlangsung cukup lama.
Pengambilan keputusan sebagai kelanjutan dari cara pemecahan masalah memiliki fungsi sebagai pangkal atau permulaan dari semua aktivitas manusia yang sadar dan terarah secara individual dan secara kelompok baik secara institusional maupun secara organisasional. Di samping itu, fungsi pengambilan keputusan merupakan sesuatu yang bersifat futuristik, artinya bersangkut paut dengan hari depan, masa yang akan datang, dimana efek atau pengaruhnya berlangsung cukup lama.
Terkait
dengan fungsi tersebut, maka tujuan pengambilan keputusan dapat dibedakan: (1) tujuan
yang bersifat tunggal. Tujuan pengambilan keputusan yang bersifat tunggal
terjadi apabila keputusan yang dihasilkan hanya menyangkut satu masalah,
artinya bahwa sekali diputuskan, tidak ada kaitannya dengan masalah lain dan
(2) tujuan yang bersifat ganda. Tujuan pengambilan keputusan yang
bersifat ganda terjadi apabila keputusan yang dihasilkan menyangkut lebih dari
satu masalah, artinya keputusan yang diambil itu sekaligus memecahkan dua (atau
lebih) masalah yang bersifat kontradiktif atau yang bersifat tidak
kontradiktif.
Agar pengambilan keputusan dapat lebih terarah, maka perlu diketahui unsur atau komponen pengambilan keputusan. Unsur pengambilan keputusan itu adalah: (1) tujuan dari pengambilan keputusan; (2) identifikasi alternatif keputusan yang memecahkan masalah; (3) perhitungan tentang faktor-faktor yang tidak dapat diketahui sebelumnya atau di luar jangkauan manusia; dan (4) sarana dan perlengkapan untuk mengevaluasi atau mengukur hasil dari suatu pengambilan keputusan.
Agar pengambilan keputusan dapat lebih terarah, maka perlu diketahui unsur atau komponen pengambilan keputusan. Unsur pengambilan keputusan itu adalah: (1) tujuan dari pengambilan keputusan; (2) identifikasi alternatif keputusan yang memecahkan masalah; (3) perhitungan tentang faktor-faktor yang tidak dapat diketahui sebelumnya atau di luar jangkauan manusia; dan (4) sarana dan perlengkapan untuk mengevaluasi atau mengukur hasil dari suatu pengambilan keputusan.
Sementara
itu, George R. Terry menyebutkan 5 dasar (basis) dalam pengambilan
keputusan, yaitu: (1) intuisi; (2) pengalaman; (3) fakta; (4)
wewenang; dan (5) rasional.
Para pakar memberikan pengertian keputusan sesuai dengan sudut pandang dan latar belakang pemikirannya. Menurut James A.F. Stoner, keputusan adalah pemilihan di antara berbagai alternatif. Definisi ini mengandung tiga pengertian, yaitu: (1) ada pilihan atas dasar logika atau pertimbangan; (2) ada beberapa alternatif yang harus dipilih salah satu yang terbaik; dan (3) ada tujuan yang ingin dicapai dan keputusan itu makin mendekatkan pada tujuan tersebut. Pengertian keputusan yang lain dikemukakan oleh Prajudi Atmosudirjo bahwa keputusan adalah suatu pengakhiran daripada proses pemikiran tentang suatu masalah dengan menjatuhkan pilihan pada suatu alternatif. Dari pengertian keputusan tersebut dapat diperoleh pemahaman bahwa keputusan merupakan suatu pemecahan masalah sebagai suatu hukum situasi yang dilakukan melalui pemilihan satu alternatif dari beberapa alternatif.
Para pakar memberikan pengertian keputusan sesuai dengan sudut pandang dan latar belakang pemikirannya. Menurut James A.F. Stoner, keputusan adalah pemilihan di antara berbagai alternatif. Definisi ini mengandung tiga pengertian, yaitu: (1) ada pilihan atas dasar logika atau pertimbangan; (2) ada beberapa alternatif yang harus dipilih salah satu yang terbaik; dan (3) ada tujuan yang ingin dicapai dan keputusan itu makin mendekatkan pada tujuan tersebut. Pengertian keputusan yang lain dikemukakan oleh Prajudi Atmosudirjo bahwa keputusan adalah suatu pengakhiran daripada proses pemikiran tentang suatu masalah dengan menjatuhkan pilihan pada suatu alternatif. Dari pengertian keputusan tersebut dapat diperoleh pemahaman bahwa keputusan merupakan suatu pemecahan masalah sebagai suatu hukum situasi yang dilakukan melalui pemilihan satu alternatif dari beberapa alternatif.
Setelah
dipahami pengertian keputusan,
selanjutnya dikutipkan pendapat para pakar mengenai pengertian pembuatan atau –
yang sering digunakan – pengambilan keputusan. Menurut George R. Terry
pengambilan keputusan adalah pemilihan alternatif perilaku (kelakuan) tertentu
dari dua atau lebih alternatif yang ada. Kemudian, menurut Sondang P. Siagian pengambilan
keputusan adalah suatu pendekatan yang sistematis terhadap hakikat alternatif
yang dihadapi dan mengambil tindakan yang menurut perhitungan merupakan
tindakan yang paling cepat. Selanjutnya, menurut James A. F. Stoner pengambilan
keputusan adalah proses yang digunakan untuk memilih suatu tindakan sebagai
cara pemecahan masalah.
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pengambilan keputusan merupakan suatu proses pemilihan alternatif terbaik dari beberapa alternatif secara sistematis untuk ditindaklanjuti (digunakan) sebagai suatu cara pemecahan masalah. Pengambilan keputusan sebagai kelanjutan dari cara pemecahan masalah memiliki fungsi sebagai pangkal atau permulaan dari semua aktivitas manusia yang sadar dan terarah secara individual dan secara kelompok baik secara institusional maupun secara organisasional. Di samping itu, fungsi pengambilan keputusan merupakan sesuatu yang bersifat futuristik, artinya bersangkut paut dengan hari depan, masa yang akan datang, dimana efek atau pengaruhnya berlangsung cukup lama.
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pengambilan keputusan merupakan suatu proses pemilihan alternatif terbaik dari beberapa alternatif secara sistematis untuk ditindaklanjuti (digunakan) sebagai suatu cara pemecahan masalah. Pengambilan keputusan sebagai kelanjutan dari cara pemecahan masalah memiliki fungsi sebagai pangkal atau permulaan dari semua aktivitas manusia yang sadar dan terarah secara individual dan secara kelompok baik secara institusional maupun secara organisasional. Di samping itu, fungsi pengambilan keputusan merupakan sesuatu yang bersifat futuristik, artinya bersangkut paut dengan hari depan, masa yang akan datang, dimana efek atau pengaruhnya berlangsung cukup lama.
Terkait
dengan fungsi tersebut, maka tujuan pengambilan keputusan dapat dibedakan: (1) tujuan
yang bersifat tunggal. Tujuan pengambilan keputusan yang bersifat tunggal
terjadi apabila keputusan yang dihasilkan hanya menyangkut satu masalah,
artinya bahwa sekali diputuskan, tidak ada kaitannya dengan masalah lain dan
(2) tujuan yang bersifat ganda. Tujuan pengambilan keputusan yang
bersifat ganda terjadi apabila keputusan yang dihasilkan menyangkut lebih dari
satu masalah, artinya keputusan yang diambil itu sekaligus memecahkan dua (atau
lebih) masalah yang bersifat kontradiktif atau yang bersifat tidak
kontradiktif.
Agar pengambilan keputusan dapat lebih terarah, maka perlu diketahui unsur atau komponen pengambilan keputusan. Unsur pengambilan keputusan itu adalah: (1) tujuan dari pengambilan keputusan; (2) identifikasi alternatif keputusan yang memecahkan masalah; (3) perhitungan tentang faktor-faktor yang tidak dapat diketahui sebelumnya atau di luar jangkauan manusia; dan (4) sarana dan perlengkapan untuk mengevaluasi atau mengukur hasil dari suatu pengambilan keputusan.
Agar pengambilan keputusan dapat lebih terarah, maka perlu diketahui unsur atau komponen pengambilan keputusan. Unsur pengambilan keputusan itu adalah: (1) tujuan dari pengambilan keputusan; (2) identifikasi alternatif keputusan yang memecahkan masalah; (3) perhitungan tentang faktor-faktor yang tidak dapat diketahui sebelumnya atau di luar jangkauan manusia; dan (4) sarana dan perlengkapan untuk mengevaluasi atau mengukur hasil dari suatu pengambilan keputusan.
Sementara
itu, George R. Terry menyebutkan 5 dasar (basis) dalam pengambilan
keputusan, yaitu: (1) intuisi; (2) pengalaman; (3) fakta; (4)
wewenang; dan (5) rasional.
Para pakar memberikan pengertian keputusan sesuai dengan sudut pandang dan latar belakang pemikirannya. Menurut James A.F. Stoner, keputusan adalah pemilihan di antara berbagai alternatif. Definisi ini mengandung tiga pengertian, yaitu: (1) ada pilihan atas dasar logika atau pertimbangan; (2) ada beberapa alternatif yang harus dipilih salah satu yang terbaik; dan (3) ada tujuan yang ingin dicapai dan keputusan itu makin mendekatkan pada tujuan tersebut. Pengertian keputusan yang lain dikemukakan oleh Prajudi Atmosudirjo bahwa keputusan adalah suatu pengakhiran daripada proses pemikiran tentang suatu masalah dengan menjatuhkan pilihan pada suatu alternatif.
Para pakar memberikan pengertian keputusan sesuai dengan sudut pandang dan latar belakang pemikirannya. Menurut James A.F. Stoner, keputusan adalah pemilihan di antara berbagai alternatif. Definisi ini mengandung tiga pengertian, yaitu: (1) ada pilihan atas dasar logika atau pertimbangan; (2) ada beberapa alternatif yang harus dipilih salah satu yang terbaik; dan (3) ada tujuan yang ingin dicapai dan keputusan itu makin mendekatkan pada tujuan tersebut. Pengertian keputusan yang lain dikemukakan oleh Prajudi Atmosudirjo bahwa keputusan adalah suatu pengakhiran daripada proses pemikiran tentang suatu masalah dengan menjatuhkan pilihan pada suatu alternatif.
Dari
pengertian keputusan tersebut dapat diperoleh pemahaman bahwa keputusan
merupakan suatu pemecahan masalah sebagai suatu hukum situasi yang dilakukan
melalui pemilihan satu alternatif dari beberapa alternatif. Setelah dipahami
pengertian keputusan,
selanjutnya dikutipkan pendapat para pakar mengenai pengertian pembuatan atau –
yang sering digunakan – pengambilan keputusan. Menurut George R. Terry
pengambilan keputusan adalah pemilihan alternatif perilaku (kelakuan) tertentu
dari dua atau lebih alternatif yang ada. Kemudian, menurut Sondang P. Siagian
pengambilan keputusan adalah suatu pendekatan yang sistematis terhadap hakikat
alternatif yang dihadapi dan mengambil tindakan yang menurut perhitungan
merupakan tindakan yang paling cepat. Selanjutnya, menurut James A. F. Stoner
pengambilan keputusan adalah proses yang digunakan untuk memilih suatu tindakan
sebagai cara pemecahan masalah.
Berdasarkan
pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pengambilan keputusan merupakan
suatu proses pemilihan alternatif terbaik dari beberapa alternatif secara
sistematis untuk ditindaklanjuti (digunakan) sebagai suatu cara pemecahan
masalah.
Pengambilan keputusan sebagai kelanjutan dari cara pemecahan masalah memiliki fungsi sebagai pangkal atau permulaan dari semua aktivitas manusia yang sadar dan terarah secara individual dan secara kelompok baik secara institusional maupun secara organisasional. Di samping itu, fungsi pengambilan keputusan merupakan sesuatu yang bersifat futuristik, artinya bersangkut paut dengan hari depan, masa yang akan datang, dimana efek atau pengaruhnya berlangsung cukup lama. Terkait dengan fungsi tersebut, maka tujuan pengambilan keputusan dapat dibedakan: (1) tujuan yang bersifat tunggal. Tujuan pengambilan keputusan yang bersifat tunggal terjadi apabila keputusan yang dihasilkan hanya menyangkut satu masalah, artinya bahwa sekali diputuskan, tidak ada kaitannya dengan masalah lain dan (2) tujuan yang bersifat ganda. Tujuan pengambilan keputusan yang bersifat ganda terjadi apabila keputusan yang dihasilkan menyangkut lebih dari satu masalah, artinya keputusan yang diambil itu sekaligus memecahkan dua (atau lebih) masalah yang bersifat kontradiktif atau yang bersifat tidak kontradiktif.
Pengambilan keputusan sebagai kelanjutan dari cara pemecahan masalah memiliki fungsi sebagai pangkal atau permulaan dari semua aktivitas manusia yang sadar dan terarah secara individual dan secara kelompok baik secara institusional maupun secara organisasional. Di samping itu, fungsi pengambilan keputusan merupakan sesuatu yang bersifat futuristik, artinya bersangkut paut dengan hari depan, masa yang akan datang, dimana efek atau pengaruhnya berlangsung cukup lama. Terkait dengan fungsi tersebut, maka tujuan pengambilan keputusan dapat dibedakan: (1) tujuan yang bersifat tunggal. Tujuan pengambilan keputusan yang bersifat tunggal terjadi apabila keputusan yang dihasilkan hanya menyangkut satu masalah, artinya bahwa sekali diputuskan, tidak ada kaitannya dengan masalah lain dan (2) tujuan yang bersifat ganda. Tujuan pengambilan keputusan yang bersifat ganda terjadi apabila keputusan yang dihasilkan menyangkut lebih dari satu masalah, artinya keputusan yang diambil itu sekaligus memecahkan dua (atau lebih) masalah yang bersifat kontradiktif atau yang bersifat tidak kontradiktif.
Agar
pengambilan keputusan dapat lebih terarah, maka perlu diketahui unsur atau
komponen pengambilan keputusan. Unsur pengambilan keputusan itu adalah: (1)
tujuan dari pengambilan keputusan; (2) identifikasi alternatif keputusan yang
memecahkan masalah; (3) perhitungan tentang faktor-faktor yang tidak dapat
diketahui sebelumnya atau di luar jangkauan manusia; dan (4) sarana dan
perlengkapan untuk mengevaluasi atau mengukur hasil dari suatu pengambilan
keputusan. Sementara itu, George R. Terry menyebutkan 5 dasar (basis)
dalam pengambilan keputusan, yaitu: (1) intuisi; (2) pengalaman; (3)
fakta; (4) wewenang; dan (5) rasional.
Para pakar
memberikan pengertian keputusan sesuai dengan sudut pandang dan latar belakang
pemikirannya. Menurut James A.F. Stoner, keputusan adalah pemilihan di
antara berbagai alternatif. Definisi ini mengandung tiga pengertian, yaitu: (1)
ada pilihan atas dasar logika atau pertimbangan; (2) ada beberapa alternatif
yang harus dipilih salah satu yang terbaik; dan (3) ada tujuan yang ingin
dicapai dan keputusan itu makin mendekatkan pada tujuan tersebut. Pengertian
keputusan yang lain dikemukakan oleh Prajudi Atmosudirjo bahwa keputusan adalah
suatu pengakhiran daripada proses pemikiran tentang suatu masalah dengan
menjatuhkan pilihan pada suatu alternatif. Dari pengertian keputusan tersebut
dapat diperoleh pemahaman bahwa keputusan merupakan suatu pemecahan masalah
sebagai suatu hukum situasi yang dilakukan melalui pemilihan satu alternatif
dari beberapa alternatif.
Setelah dipahami pengertian keputusan, selanjutnya dikutipkan pendapat para pakar mengenai pengertian pembuatan atau – yang sering digunakan – pengambilan keputusan. Menurut George R. Terry pengambilan keputusan adalah pemilihan alternatif perilaku (kelakuan) tertentu dari dua atau lebih alternatif yang ada. Kemudian, menurut Sondang P. Siagian pengambilan keputusan adalah suatu pendekatan yang sistematis terhadap hakikat alternatif yang dihadapi dan mengambil tindakan yang menurut perhitungan merupakan tindakan yang paling cepat.
Setelah dipahami pengertian keputusan, selanjutnya dikutipkan pendapat para pakar mengenai pengertian pembuatan atau – yang sering digunakan – pengambilan keputusan. Menurut George R. Terry pengambilan keputusan adalah pemilihan alternatif perilaku (kelakuan) tertentu dari dua atau lebih alternatif yang ada. Kemudian, menurut Sondang P. Siagian pengambilan keputusan adalah suatu pendekatan yang sistematis terhadap hakikat alternatif yang dihadapi dan mengambil tindakan yang menurut perhitungan merupakan tindakan yang paling cepat.
Selanjutnya,
menurut James A. F. Stoner pengambilan keputusan adalah proses yang digunakan
untuk memilih suatu tindakan sebagai cara pemecahan masalah. Berdasarkan
pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pengambilan keputusan merupakan
suatu proses pemilihan alternatif terbaik dari beberapa alternatif secara
sistematis untuk ditindaklanjuti (digunakan) sebagai suatu cara pemecahan
masalah. Pengambilan keputusan sebagai kelanjutan dari cara pemecahan masalah
memiliki fungsi sebagai pangkal atau permulaan dari semua aktivitas manusia
yang sadar dan terarah secara individual dan secara kelompok baik secara
institusional maupun secara organisasional. Di samping itu, fungsi pengambilan
keputusan merupakan sesuatu yang bersifat futuristik, artinya bersangkut paut
dengan hari depan, masa yang akan datang, dimana efek atau pengaruhnya
berlangsung cukup lama.
Terkait dengan fungsi tersebut, maka tujuan pengambilan keputusan dapat dibedakan: (1) tujuan yang bersifat tunggal.
Terkait dengan fungsi tersebut, maka tujuan pengambilan keputusan dapat dibedakan: (1) tujuan yang bersifat tunggal.
Tujuan
pengambilan keputusan yang bersifat tunggal terjadi apabila keputusan yang
dihasilkan hanya menyangkut satu masalah, artinya bahwa sekali diputuskan,
tidak ada kaitannya dengan masalah lain dan (2) tujuan yang bersifat
ganda. Tujuan pengambilan keputusan yang bersifat ganda terjadi apabila
keputusan yang dihasilkan menyangkut lebih dari satu masalah, artinya keputusan
yang diambil itu sekaligus memecahkan dua (atau lebih) masalah yang bersifat
kontradiktif atau yang bersifat tidak kontradiktif. Agar pengambilan keputusan
dapat lebih terarah, maka perlu diketahui unsur atau komponen pengambilan
keputusan. Unsur pengambilan keputusan itu adalah: (1) tujuan dari pengambilan
keputusan; (2) identifikasi alternatif keputusan yang memecahkan masalah; (3)
perhitungan tentang faktor-faktor yang tidak dapat diketahui sebelumnya atau di
luar jangkauan manusia; dan (4) sarana dan perlengkapan untuk mengevaluasi atau
mengukur hasil dari suatu pengambilan keputusan.
Sementara itu, George R. Terry menyebutkan 5 dasar (basis) dalam pengambilan keputusan, yaitu: (1) intuisi; (2) pengalaman; (3) fakta; (4) wewenang; dan (5) rasional.
Sementara itu, George R. Terry menyebutkan 5 dasar (basis) dalam pengambilan keputusan, yaitu: (1) intuisi; (2) pengalaman; (3) fakta; (4) wewenang; dan (5) rasional.
C.
Kebijakan Umum
Secara
harifah ilmu kebijakan adalah terjemahan langsung dari kata policy science
(Dror, 1968: 6-8 ). Beberapa penulis besar dalam ilmu ini, seperti William
Dunn, Charles Jones, Lee Friedman, dan lain-lain, menggunakan istilah public
policy dan public policy analysis dalam pengertian yang tidak berbeda. Istilah
kebijaksanaan atau kebijakan yang diterjemahkan dari kata policy memang
biasanya dikaitkan dengan keputusan pemerintah, karena pemerintahlah yang
mempunyai wewenang atau kekuasaan untuk mengarahkan masyarakat, dan bertanggung
jawab melayani kepentingan umum. Ini sejalan dengan pengertian public itu
sendiri dalam bahasa Indonesia yang berarti pemerintah, masyarakat atau umum.
Dengan demikian perbedaan makna antara perkataan kebijaksanaan dan kebijakan
tidak menjadi persoalan, selama kedua istilah itu diartikan sebagai keputusan
pemerintah yang relatif bersifat umum dan ditujukan kepada masyarakat umum.
Perbedaan kata kebijakan dengan kebijaksanaan berasal dari keinginan untuk
membedakan istilah policy sebgai keputusan pemerintah yang bersifat umum dan
berlaku untuk seluruh anggota masyarakat, dengan istilah discretion, yang dapat
diartikan “ilah” atau keputusan yang bersifat kasuistis untuk sesuatu hal pada
suatu waktu tertentu.
Keputusan
yang bersifat kausitis (hubungan sebab akibat) sering terjadi dalam pergaulan.
Seseorang minta “kebijaksanaan” seorang pejabat untuk memperlakukan secara
“istimewa” atau secara “istimewa” tidak memperlakukan, ketentuan-ketentuan yang
ada, yang biasanya justru ditetapkan sebagai kebijakan pemerintah (public
policy). Kata policy secara etimologis berasal dari kata polis dalam bahasa
Yunani (Greek), yang berarti negara-kota. Dalam bahasa latin kata ini menjadi
politia, artinya negara. Masuk kedalam bahasa Inggris lama (Middle English),
kata tersebut menjadi policie, yang pengertiannya berkaitan dengan urusan
perintah atau administrasi pemerintah (Dunn,1981:7). Dalam pengertian umum kata
ini seterusnya diartikan sebagai,”…a course of action intended to accomplish
some end” (Jones,1977:4) atau sebagai “…whatever government chooses to do or
not to do” (Dye,1975:1). Uniknya dalam bahasa Indonesia, kata “kebijaksanaan”
atau “kebijakan” yang diterjemahkan dari kata policy tersebut mempunyai
konotasi tersendiri. Kata tersebut mempunyai akar kata bijaksana atau bijak
yang dapat disamakan dengan pengertian wisdom, yang berasal dari kata sifat wise
dalam bahasa Inggris.
Dengan
pengertian ini sifat bijak sana dibedakan orang dari sekedar pintar (clever)
atau cerdas (smart). Pintar bisa berarti ahli dalam satu bidang ilmu, sementara
cerdas biasanya diartikan sebagai sifat seseorang yang dapat berpikir cepat
atau dapat menemukan jawaban bagi suatu persoalan yang dihadapi secara cepat.
Orang yang bijaksana mungkin tidak pakar dalam sesuatu bidang ilmu, namun
memahami hampir semua aspek kehidupan (Buchari Zainun dan Said Zainal Abidin,
1988:7-10). Kalau orang yang cerdas dapat segera memberi jawaban yang tepat
atas sesuatu pertanyaan, maka orang yang bijaksana mungkin pada waktu yang sama
tidak mau memberikan jawaban, karena yang demikian itu mungkin dianggapnya
lebih bijaksana. Jawaban yang bijaksana bukan sekedar dapat menjawab, tetapi
juga menjawab dengan tepat waktu,tepat lingkungan dan tepat sasaran. Konotasi
ini agaknya sangat relevan dengan kajian ilmu kebijakan, dan jawaban yang
demikian itulah yang menjadi obyek studi dari ilmu ini.
Kajian tentang kebijakan dalam arti yang luas sebagai usaha pengadaan informasi yang diperlukan untuk menunjang proses pengambilan kebijakan telah ada sejak manusia mengenal organisasi dan tahu arti keputusan. Kajian ini dilakukan mulai dari cara yang paling sederhana dan irasional sampai dengan cara-cara yang bersifat kombinasi kuantitatif dan kualitatif sekarang ini. Akan tetapi sebgai suatu disiplin tersendiri ilmu kebijakan baru diakui kehadirannya sesudah Perang Dunia II.
Kajian tentang kebijakan dalam arti yang luas sebagai usaha pengadaan informasi yang diperlukan untuk menunjang proses pengambilan kebijakan telah ada sejak manusia mengenal organisasi dan tahu arti keputusan. Kajian ini dilakukan mulai dari cara yang paling sederhana dan irasional sampai dengan cara-cara yang bersifat kombinasi kuantitatif dan kualitatif sekarang ini. Akan tetapi sebgai suatu disiplin tersendiri ilmu kebijakan baru diakui kehadirannya sesudah Perang Dunia II.
Kajian-kajian
yang dilakukan di masa lampau biasanya merupakan suatu kajian dari satu
disiplin ilmu untuk memecahkan suatu permasalahan yang dianggap termasuk dalam
aspek tertentu yang relevan dengan disiplin ilmu itu. Kajian yang demikian
mulai sulit memecahkan persoalan-persoalan yang kompleks dalam masyarakat
modern sekarang ini.
Dalam masyarakat modern di area globalisasi sekarang ini, sebagai akibat dari kemajuan teknologi di bidang informasi dan transportasi, permasalahan publik menjadi sangat kompleks. Tidak ada satu masalah yang hanya bisa dilihat sebagai ”satu” aspek yang berdiri sendiri. Berbagai aspek saling terkait dan saling mempengaruhi. Keterkaitan ini tidak terbatas dalam lingkungan tertentu saja, tetapi bisa jadi dipengaruhi dan mempengaruhi lingkungan yang lebih luas dan menyangkut aspek yang berbeda, berlangsung dalam waktu yang amat cepat. Perubahan dalam bidang politik di Amerika Serikat pada hari ini, misalnya, segera akan berpengaruh dalam bidang ekonomi,sosial-budaya, pertahananan dan sebagainya, di negara-negara ASEAN pada hari yang sama.
Dalam masyarakat modern di area globalisasi sekarang ini, sebagai akibat dari kemajuan teknologi di bidang informasi dan transportasi, permasalahan publik menjadi sangat kompleks. Tidak ada satu masalah yang hanya bisa dilihat sebagai ”satu” aspek yang berdiri sendiri. Berbagai aspek saling terkait dan saling mempengaruhi. Keterkaitan ini tidak terbatas dalam lingkungan tertentu saja, tetapi bisa jadi dipengaruhi dan mempengaruhi lingkungan yang lebih luas dan menyangkut aspek yang berbeda, berlangsung dalam waktu yang amat cepat. Perubahan dalam bidang politik di Amerika Serikat pada hari ini, misalnya, segera akan berpengaruh dalam bidang ekonomi,sosial-budaya, pertahananan dan sebagainya, di negara-negara ASEAN pada hari yang sama.
Sebab itu
kajian dari satu disiplin ilmu saja menjadi tidak realistis, karena jawaban
yang dihasilkan terbatas dalam kerangka teoritis tertentu, tidak sesuai dengan
masyarakat modern yang kompleks dan berkembang secara cepat. Khusus untuk negara-negara
yang sedang berkembang telah dilakukan pula kajian yang bersifat penerapan dari
disiplin ilmu-ilmu yang telah ada. Dalam ilmu administrasi untuk menata
pengelolaan pembangunan dan pembangunan administrasi dalam suatu masyarakat
yang sedang berkembang dalam lingkungan yang berbeda dari lingkungan tempat
teori-teori administrasi itu dahulu tumbuh. Hal yang serupa juga terjadi dalam
disiplin ilmu ekonomi yang menumbuhkan kajian ekonomi pembangunan yang
berorientasi pada negara-negara yang sedang berkembang. Begitu pula dalam
disiplin ilmu politik, sosiologi dan lain-lain. Dalam masyarakat dewasa ini
sering timbul keluhan bahwa hasil suatu analisis yang dilakukan dalam suatu
bidang, sulit diterapkan. Kesulitan dalam penerapan ini disebabkan oleh kenyataan
bahwa masyarakat merupakan kancah pertautan berbagai aspek yang bersifat
multidimensi. Dalam masyarakat, berbagai aspek saling mempengaruhi. Karena itu
diperlukan analisis yang bersifat multidimensi pula. Untuk menjawab tantangan
dari kesulitan penerapan inilah maka William Dunn menanamkan ilmu analisis
kebijakan applied social science, karena ilmu ini menggunakan pendekatan yang
bersifat menyeluruh (holistic approach).
D. Distribusi
Kekuasaan
Dalam
sebuah ketatanegaraan tidak jarang terjadi pemusatan kekuasaan pada satu
tangan, sehingga terjadi pengelolaan sistem pemerintahan yang dilakukan secara
absolut atau otoriter, sebut saja misalnya seperti dalam bentuk monarki dimana
kekuasaan berada ditangan seorang raja. Maka untuk menghindari hal tersebut
perlu adanya pembagian/pemisahan kekuasaan, sehingga terjadi kontrol dan
keseimbangan diantara lembaga pemegang kekuasaan.
a. Pengertian Pembagian
Kekuasaan
Pembagian
kekuasaan terdiri dari dua kata, yaitu “pembagian” dan “kekuasaan”. Menurut
kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) pembagian memiliki pengertian proses
menceraikan menjadi beberapa bagian atau memecahkan (sesuatu) lalu
memberikannya kepada pihak lain. Sedangkan kekuasaan adalah wewenang atas
sesuatu atau untuk menentukan (memerintah, mewakili, mengurus, dsb) sesuatu.
Sehingga secara harfiah pembagian kekuasaan adalah proses menceraikan wewenang
yang dimiliki oleh Negara untuk (memerintah, mewakili, mengurus, dsb) menjadi
beberapa bagian (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) untuk diberikan kepada
beberapa lembaga Negara untuk menghindari pemusatan kekuasaan (wewenang) pada
satu pihak/ lembaga. Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim memaknai pembagian kekuasaan
berarti bahwa kekuasaan itu memang dibagi-bagi dalam beberapa bagian
(legislatif, eksekutif dan yudikatif), tetapi tidak dipisahkan. Hal ini membawa
konsekuensi bahwa diantara bagian-bagian itu dimungkinkan ada koordinasi atau
kerjasama (Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1988: 140). Berbeda dengan pendapat
dari Jimly Asshiddiqie yang mengatakan kekuasaan selalu harus dibatasi dengan
cara memisah-misahkan kekuasaan ke dalam cabang-cabang yang bersifat checks dan
balances dalam kedudukan yang sederajat dan saling mengimbangi serta
mengendalikan satu sama lain, namun keduanya ada kesamaan, yaitu memungkinkan
adanya koordinasi atau kerjasama. Selain itu pembagian kekuasaan baik dalam
arti pembagian atau pemisahan yang diungkapkan dari keduanya juga mempunyai
tujuan yang sama yaitu untuk membatasi kekuasaan sehingga tidak terjadi
pemusatan kekuasaan pada satu tangan yang memungkinkan terjadinya
kesewanang-wenangan. Pada hakekatnya pembagian kekuasaan dapat dibagi ke dalam
dua cara, yaitu (Zul Afdi Ardian, 1994: 62):
1. Secara
vertikal, yaitu pembagian kekuasaan menurut tingkatnya. Maksudnya pembagian
kekuasaan antara beberapa tingkat pemerintahan, misalnya antara pemerintah
pusat dengan dan pemerintah daerah dalam negara kesatuan, atau antara
pemerintah federal dan pemerintah negara bagian dalam suatu suatu negara
federal.
2. Secara
horizontal, yaitu pembagian kekuasaan menurut fungsinya. Dalam pembagian ini
lebih menitikberatkan pada pembedaan antara fungsi pemerintahan yang bersifat
legislatif, eksekutif dan yudikatif.
b. Pembagian Kekuasaan Menurut
John Locke
John
Locke, dalam bukunya yang berjudul “Two Treaties of Goverment” mengusulkan agar
kekuasaan di dalam negara itu dibagi dalam organ-organ negara yang mempunyai
fungsi yang berbeda-beda. Menurut beliau agar pemerintah tidak sewenang-wenang,
maka harus ada pembedaan pemegang kekuasaan-kekuasaan ke dalam tiga macam
kekuasaan,yaitu:
1. Kekuasaan
Legislatif (membuat undang-undang)
2. Kekuasaan
Eksekutif (melaksanakan undang-undang)
3. Kekuasaaan
Federatif (melakukan hubungan diplomtik dengan negara-negara lain).
Pendapat John Locke inilah yang mendasari muncul teori pembagian kekuasaan sebagai gagasan awal untuk menghindari adanya pemusatan kekuasaan (absolut) dalam suatu negara.
Pendapat John Locke inilah yang mendasari muncul teori pembagian kekuasaan sebagai gagasan awal untuk menghindari adanya pemusatan kekuasaan (absolut) dalam suatu negara.
c. Konsep Trias Politica
Montesquieu
Menurut Montesquieu seorang
pemikir berkebangsaan Perancis mengemukakan teorinya yang disebut trias
politica. Dalam bukunya yang berjudul “L’esprit des Lois” pada tahun 1748
menawarkan alternatif yang agak berbeda dari pendapat John Locke. Menurut
Montesquieu untuk tegaknya negara demokrasi perlu diadakan pemisahan kekuasaan
negara ke dalam 3 organ, yaitu:
a) Kekuasaan Legislatif (membuat undang-undang).
a) Kekuasaan Legislatif (membuat undang-undang).
b) Kekuasaan Eksekutif
(melaksanakan undang-undang).
c) Kekuasaaan yudikatif (mengadili
bila terjadi pelanggaran atas undang-undang).
Konsep yang dikemukakan oleh
John Locke dengan konsep yang dikemukakan oleh Montesquieu pada dasarnya
memiliki perbedaan, yaitu:
a) Menurut John Locke kekuasaan
eksekutif merupakan kekuasaan yang mencakup kekuasaan yuikatif karena mengadili
itu berarti melaksanakan undang-undang, sedangkan kekuasaan federatif (hubungan
luar negeri) merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri.
b) Menurut Montesquieu
kekuasaan eksekutif mencakup kekuasaan ferderatif karena melakukan hubungan
luar negeri itu termasuk kekuasaan eksekutif, sedangkan kekuasaan yudikatif
harus merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri dan terpisah dari eksekutif.
c) Pada kenyataannya ternyata,
sejarah menunjukkan bahwa cara pembagian kekuasaan yang dikemukakan Montesquieu
yang lebih diterima. Kekuasaan ferderatif diberbagai negara sekarang ini
dilakukan oleh eksekutif melalui Departemen Luar Negerinya masing-masing (Moh.
Mahfud MD, 2001: 73).
Seperti
halnya dalam praktek ketatanegaraan Indonesia selama ini.
Mengenai pembagian kekuasaan seperti yang dikemukakan Montesquieu, yang membagi kekuasaan itu menjadi tiga kekuasaan, yaitu: legislatif, eksekutif, dan yudikatif, Jimly Asshiddiqie menjelaskan lagi mengenai cabang-cabang dari kekuasaan-kekuasaan itu. Cabang kekuasaan legislatif terdiri dari:
Mengenai pembagian kekuasaan seperti yang dikemukakan Montesquieu, yang membagi kekuasaan itu menjadi tiga kekuasaan, yaitu: legislatif, eksekutif, dan yudikatif, Jimly Asshiddiqie menjelaskan lagi mengenai cabang-cabang dari kekuasaan-kekuasaan itu. Cabang kekuasaan legislatif terdiri dari:
a. Fungsi
Pengaturan (Legislasi).
b. Fungsi
Pengawasan (Control).
c. Fungsi
Perwakilan (Representasi).
Kekuasaan Eksekutif juga
mempunyai cabang kekuasaan yang meliputi :
a. Sistem Pemerintahan.
b. Kementerian Negara.
Begitu juga dengan kekuasaan
Yudikatif mempunyai cabang kekuasaan sebagai berikut :
a. Kedudukan Kekuasaan
Kehakiman.
b. Prinsip Pokok Kehakiman.
c. Struktur Organisasi
Kehakiman.
Jadi menurut Jimly Asshiddiqie
kekuasaan itu masing-masing mempunyai cabang kekuasaan sebagai bagian dari
kekuasaan yang dipegang oleh lembaga negara dalam penyelenggaraan negara.
d. Pembagian Kekuasaan di
Indonesia
Dalam
ketatanegaraan Indonesia sendiri, istilah “pemisahan kekuasaan” (separation of
power) itu sendiri cenderung dikonotasikan dengan pendapat Montesquieu secara
absolut. Konsep pemisahan kekuasaan tersebut dibedakan secara diametral dari
konsep pembagian kekuasaan (division of power) yang dikaitkan dengan sistem
supremasi MPR yang secara mutlak menolak ide pemisahan kekuasaan ala trias
politica Monstesquieu. Dalam sidang-sidang BPUPKI 1945, Soepomo misalnya
menegaskan bahwa UUD 1945 tidak menganut doktrin trias politica dalam arti
paham pemisahan kekuasaan, melainkan menganut sistem pembagian kekuasaan.
Di sisi
lain Jimly Asshiddiqie, berpendapat bahwa setelah adanya perubahan UUD 1945
selama empat kali, dapat dikatakan sistem konstitusi kita telah menganut
doktrin pemisahan itu secara nyata. Beberapa yang mendukung hal itu antara lain
adalah :
1. adanya pergeseran kekuasaan
legislatif dari tangan Presiden ke DPR.
2. diadopsinya sistem pengujian
konstitusional atas undang-undang sebagai produk legislatif oleh Mahkamah
Konstitusi. Dimana sebelumnya undang-undang tidak dapat diganggu gugat, hakim hanya
dapat menerapkan undang-undang dan tidak boleh menilai undang-undang.
3. diakui bahwa lembaga
pelaksana kedaulatan rakyat itu tidak hanya MPR, melainkan semua lembaga negara
baik secara langsung atau tidak langsung merupakan penjelmaan kedaulatan rakyat.
4. MPR tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara, namun sebagai lembaga negara yang sederajat dengan lembaga negara lainnya.
4. MPR tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara, namun sebagai lembaga negara yang sederajat dengan lembaga negara lainnya.
5. hubungan-hubungan antar
lembaga negara itu bersifat saling mengendalikan satu sama lain sesuai dengan
prinsip checks and balances.
Jadi
berdasarkan kelima alasan tersebut, maka UUD 1945 tidak lagi dapat dikatakan
menganut prinsip pembagian kekuasaan yang bersifat vertikal maupun menganut
ajaran trias politica Montesquieu yang memisahkan cabang-cabang kekuasaan legislatif,
eksekutif, dan yudikatif secara mutlak dan tanpa diiringi oleh hubungan yang
saling mengendalikan satu sama lain. Dengan perkataan lain, sistem baru yang
dianut oleh UUD 1945 pasca perubahan keempat adalah sistem pemisahan kekuasaan
berdasarkan prinsip checks and balances, sehingga masih ada koordinasi antar
lembaga negara.
e. latar Belakang Checks and
Balances di Indonesia
Penyelenggaraan
kedaulatan rakyat sebelum perubahan UUD 1945 melalui sistem MPR dengan prinsip
terwakili telah menimbulkan kekuasaan bagi presiden yang demikian besar dalam
segala hal termasuk pembentukan MPR. Periode orde lama (1959-1965), seluruh
anggota MPR(S) dipilih dan diangkat langsung oleh Presiden. Tidak jauh berbeda
pula pada masa orde baru (1966-1998) dari 1000 orang jumlah anggota MPR, 600
orang dipilih dan ditentukan oleh Presiden. Hal tersbut menunjukan bahwa pada
masa-masa itu MPR seakan-akan hanya menjadi alat untuk mempertahankan penguasa
pemerintahan (presiden), yang mana pada masa itu kewenangan untuk memilih dan
mengangkat Presiden dan/ atau Wakil Presiden berada di tangan MPR. Padahal MPR
itu sendiri dipilih dan diangkat oleh Presiden sendiri, sehingga siapa yang
menguasai suara di MPR maka akan dapat mempertahankan kekuasaannya.
Pengangkatan anggota MPR dari unsur Utusan Daerah dan unsur Utusan Golongan bagi pembentukan MPR dalam jumlah yang demikian besar juga dapat dilihat sebagai penyimpangan konstitusional, karena secara logika dalam hal kenyataan juga terlihat wakil yang diangkat akan patuh dan loyal kepada pihak yang mengangkatnya, sehingga wakil tersebut tidak lagi mengemban kepentingan daerah atau golongan yang diwakilinya. Akibatnya adalah wakil-wakil yang diangkat itu tidak lagi memiliki hubungan dengan yang diwakilinya. Namun terkait dengan hal itu, Presiden sendiri merupakan mandataris MPR yang harus bertanggung jawab kepadanya.
Pengangkatan anggota MPR dari unsur Utusan Daerah dan unsur Utusan Golongan bagi pembentukan MPR dalam jumlah yang demikian besar juga dapat dilihat sebagai penyimpangan konstitusional, karena secara logika dalam hal kenyataan juga terlihat wakil yang diangkat akan patuh dan loyal kepada pihak yang mengangkatnya, sehingga wakil tersebut tidak lagi mengemban kepentingan daerah atau golongan yang diwakilinya. Akibatnya adalah wakil-wakil yang diangkat itu tidak lagi memiliki hubungan dengan yang diwakilinya. Namun terkait dengan hal itu, Presiden sendiri merupakan mandataris MPR yang harus bertanggung jawab kepadanya.
Berdasarkan
hal tersebut maka hubungan antara MPR dengan Presiden sangat sulit dilihat
sebagai hubungan vertikal atau horizontal, jika terlepas dari MPR sebagai
Lembaga Tertinggi Negara dan Presiden sebagai Lembaga Negara yang jelas
mempunyai hubungan vertikal. Maka idealnya seluruh anggota MPR itu diplih
rakyat melalui Pemilu. Dan di sisi lain sesuai dengan ketentuan UUD 1945,
keberadaan MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara, dianggap sebagai pelaksana
sepenuhnya kedaulatan rakayat. Konstruksi ini menunjukkan bahwa MPR merupakan
Majelis yang mewakili kedudukan rakyat sehingga menjadikan lembaga tersebut
sebagai sentral kekuasaan, yang mengatasi cabang-cabang kekuasaan lainnya.
Adanya satu lembaga yang berkedudukan paling tinggi membawa konsekuensi seluruh
kekuasaan lembaga-lembaga penyelenggara negara yang berada di bawahnya harus
bertanggung jawab kepada MPR. Akibatnya konsep keseimbangan antara
elemen-elemen penyelenggara negara atau sering disebut checks and balances
system antar lembaga tinggi negara tidak dapat dijalankan.
Pada sistem MPR tersebut, juga menimbulkan kekuasaan bagi presiden yang demikian besar dalam pembentukan undang-undang (fungsi Legislasi) yang seharusnya dipegang DPR. Hal tersebut dapat dilihat dari rumusan pasal 5 ayat (1) naskah asli UUD 1945 yang berbunyi: “Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”. Berdasarkan rumusan tersebut, dapat dilihat bahwa MPR mendistribusikan kekuasaan membentuk undang-undang kepada Presiden, atau setidaknya memberikan kewenangan yang lebih kepada Presiden dalam fungsi legislasi dari pada DPR. Karena keadaan yang demikian sehingga pengawasan dan keseimbangan antar lembaga tinggi negara sangat lemah sekali.
Pada sistem MPR tersebut, juga menimbulkan kekuasaan bagi presiden yang demikian besar dalam pembentukan undang-undang (fungsi Legislasi) yang seharusnya dipegang DPR. Hal tersebut dapat dilihat dari rumusan pasal 5 ayat (1) naskah asli UUD 1945 yang berbunyi: “Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”. Berdasarkan rumusan tersebut, dapat dilihat bahwa MPR mendistribusikan kekuasaan membentuk undang-undang kepada Presiden, atau setidaknya memberikan kewenangan yang lebih kepada Presiden dalam fungsi legislasi dari pada DPR. Karena keadaan yang demikian sehingga pengawasan dan keseimbangan antar lembaga tinggi negara sangat lemah sekali.
Orde
reformasi yang dimulai pada bulan Mei 1998, yang terjadi karena berbagai
krisis, baik krisis ekonomi, politik maupun moral. Gerakan reformasi itu
membawa berbagai tuntutan, diantaranya adalah Amandemen UUD 1945, penghapusan
doktrin dwi fungsi ABRI, penegakan hukum, HAM, dan pemberantasan KKN, serta
mewujudkan kehidupan yang demokratis. Tuntutan itu muncul karena masyarakat
menginginkan perubahan dalam sistem dan struktur ketatanegaraan Indonesia untuk
memuwujdkan pemerintahan negara yang demokratis dengan menjamin hak asasi warga
negaranya. Hasil nyata dari reformasi adalah dengan adanya perubahan UUD 1945
yang dilatar belakagi dengan adanya beberapa alasan, yaitu:
a. Kekuasaan tertinggi di
tangan MPR.
b. Kekuasaan yang sangat
besar pada Presiden.
c. Pasal-pasal yang
sifatnya terlalu “luwes” sehingga dapat menimbulkan multi tafsir.
d. Kewenangan pada
Presiden untuk mengatur hal-hal penting dengan undang-undang.
e. Rumusan UUD 1945 tentang
semangat penyelenggaraan negara belum cukup didukung ketentuan
konstitusi.
Hal-hal
tersebut merupakan penyebab mengapa keseimbangan dan pengawasan terhadap
lembaga penyelenggara negara dianggap sangat kurang (checks and balances
system) tidak dapat berjalan sehingga harus dilakukan Perubahan UUD 1945 untuk
mengatasi hal tersebut.
Perubahan UUD 1945 yang terjadi selama empat kali yang berlangsung secara berturutan pada tahun 1999, 2000, 2001 dan 2002 telah membawa dampak yang besar terhadap stuktur ketatanegaraan dan sistem penyelenggaraan negara yang sangat besar dan mendasar. Perubahan itu diantara adalah menempatkan MPR sebagai lembaga negara yang mempunyai kedudukan yang sederajat dengan Lembaga Negara lainnya tidak lagi sebagai Lembaga Tertinggi Negara, pergeseran kewenangan membentuk undang-undang dari Presiden kepada DPR, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung, mempetegas penerapan sistem presidensiil, pengaturan HAM, munculnya beberapa lembaga baru seperti Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial, dan lain sebagainya.
Perubahan UUD 1945 yang terjadi selama empat kali yang berlangsung secara berturutan pada tahun 1999, 2000, 2001 dan 2002 telah membawa dampak yang besar terhadap stuktur ketatanegaraan dan sistem penyelenggaraan negara yang sangat besar dan mendasar. Perubahan itu diantara adalah menempatkan MPR sebagai lembaga negara yang mempunyai kedudukan yang sederajat dengan Lembaga Negara lainnya tidak lagi sebagai Lembaga Tertinggi Negara, pergeseran kewenangan membentuk undang-undang dari Presiden kepada DPR, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung, mempetegas penerapan sistem presidensiil, pengaturan HAM, munculnya beberapa lembaga baru seperti Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial, dan lain sebagainya.
Terkait
dengan perubahan kedudukan MPR setelah adanya Perubahan UUD 1945 Abdy Yuhana
menjelaskan bahwa berdasarkan rumusan dari ketentuan Pasal 1 Ayat (2) UUD
Negara RI Tahun 1945 yang berbunyi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar” yang merupakan perubahan terhadap
ketentuan Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 sebelumnya yang berbunyi “Kedaulatan adalah
di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”.
Dari hasil perubahan tersebut dapat dilihat bahwa konsep kedaulatan rakyat
dilakukan oleh suatu Lembaga Tertinggi Negara, yaitu MPR yang dianggap sebagai
penjelmaan seluruh rakyat Indonesia, sekarang melalui ketentuan tersebut telah
dikembalikan kepada kepada rakyat untuk dilaksanakan sendiri. Konsekuensi dari
ketentuan baru itu adalah hilangnya Lembaga Tertinggi Negara MPR yang selama
ini dipandang sebagai pemegang sepenuhnya kedaulatan rakyat. Hal ini merupakan
suatu perubahan yang bersifat fundamental dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia, dengan begitu maka prinsip supremasi MPR telah berganti dengan
prinsip keseimbangan antar lembaga negara (checks and balances). Rumusan
tersebut juga memang sengaja dibuat sedemikian rupa untuk membuka kemungkinan
diselenggarakannya pemilihan presiden secara langsung, agar sesuai dengan kehendak
untuk menerapkan sistem pemerintahan presidensial (Abdy Yuhana, 2007: 139).
Ni’matul Huda juga berpendapat bahwa dengan adanya pergeseran kewenangan membentuk undang-undang itu, maka sesungguhnya ditinggalkan pula teori “pembagian kekuasaan” (distribution of power) dengan prinsip supremasi MPR menjadi “pemisahan kekuasaan” (seperation of power) dengan prinsip checks and balances sebagai ciri melekatnya. Hal ini juga merupakan penjabaran lebih jauh dari kesepakatan untuk memperkuat sistem presidensial (Ni’matul Huda, 2003: 19). Dari dua pendapat tersebut maka dapat simpulkan bahwa Negara Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 hasil perubahan telah menganut teori “pemisahan kekuasaan” (seperation of power) untuk menjamin prinsip checks and balances demi tercapainya pemerintahan yang demokratis yang merupakan tuntutan dan cita-cita reformasi.
Ni’matul Huda juga berpendapat bahwa dengan adanya pergeseran kewenangan membentuk undang-undang itu, maka sesungguhnya ditinggalkan pula teori “pembagian kekuasaan” (distribution of power) dengan prinsip supremasi MPR menjadi “pemisahan kekuasaan” (seperation of power) dengan prinsip checks and balances sebagai ciri melekatnya. Hal ini juga merupakan penjabaran lebih jauh dari kesepakatan untuk memperkuat sistem presidensial (Ni’matul Huda, 2003: 19). Dari dua pendapat tersebut maka dapat simpulkan bahwa Negara Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 hasil perubahan telah menganut teori “pemisahan kekuasaan” (seperation of power) untuk menjamin prinsip checks and balances demi tercapainya pemerintahan yang demokratis yang merupakan tuntutan dan cita-cita reformasi.
·
Pengertian strategi, pengertian
politik dan strategi nasional
A. Pengertian
strategi
Menurut
Wikipedia, strategi adalah pendekatan secara keseluruhan yang
berkaitan dengan pelaksanaan
gagasan, perencanaan, dan eksekusi sebuah aktifitas
dalam kurun waktu tertentu. Di
dalam strategi yang baik terdapat koordinasi tim kerja,
memiliki tema, mengidentifikasi
faktor pendukung yang sesuai dengan prinsip-prinsip
pelaksanaan gagasan secara
rasional, efisien dalam pendanaan dan memiliki taktik untuk
mencapai tujuan secara efektif.
Strategi dibedakan dengan taktik yang memiliki ruang
lingkup yang lebih sempit dan
waktu yang lebih singkat.
B. PENGERTIAN POLITIK DAN STRATEGI NASIONAL
Politik berasal dari bahasa Yunani yaitu Polistaia, Polis
berarti kesatuan masyarakat yang mengurus diri sendiri/berdiri sendiri
(negara), sedangkan taia berarti urusan. Dari segi kepentingan penggunaan, kata
politik mempunyai arti yang berbeda-beda. Untuk lebih memberikan pengertian
arti politik disampaikan beberapa arti politik dari segi kepentingan
penggunaan, yaitu:
a. Dalam arti kepentingan umum (Politics)
Politik dalam arti kepentingan umum atau segala usaha untuk
kepentingan umum, baik yang berada dibawah kekuasaan negara di Pusat maupun di
Daerah, lazim disebut Politik (Politics) yang artinya adalah suatu rangkaian
azas/prinsip, keadaan serta jalan, cara dan alat yang akan digunakan untuk
mencapai tujuan tertentu atau suatu keadaan yang kita kehendaki disertai dengan
jalan, cara dan alat yang akan kita gunakan untuk mencapai keadaan yang kita
inginkan.
b. Dalam arti kebijaksanaan (Policy)
Politik adalah penggunaan pertimbangan-pertimbangan tertentu
yang yang dianggap lebih menjamin terlaksananya suatu usaha,
cita-cita/keinginan atau keadaan yang kita kehendaki. Dalam arti kebijaksanaan,
titik beratnya adalah adanya :
a. proses pertimbangan
b. menjamin terlaksananya suatu usaha
c. pencapaian cita-cita/keinginan
Politik adalah tindakan dari suatu kelompok individu mengenai
suatu masalah dari masyarakat atau negara. Politik nasional adalah suatu
kebijakan umum dan pengambilan kebijakan untuk mencapai suatu cita-cita dan
tujuan nasional.
Strategi berasal dari bahasa Yunani yaitu strategia yang
artinya the art of the general atau seni seorang panglima yang biasanya
digunakan dalam peperangan. Karl von Clausewitz berpendapat bahwa strategi
adalah pengetahuan tentang penggunaan pertempuran untuk memenangkan peperangan,
sedangkan perang adalah kelanjutan dari politik. Dalam abad modern dan
globalisasi, penggunaan kata strategi tidak lagi terbatas pada konsep atau seni
seorang panglima dalam peperangan, tetapi sudah digunakan secara luas termasuk
dalam ilmu ekonomi maupun olah raga. Dalam pengertian umum, strategi adalah
cara untuk mendapatkan kemenangan atau pencaipan suatu tujuan.
Strategi nasional adalah cara melaksanakan politik nasional
dalam mencapai sasaran dan tujuan yang ditetapkan oleh politik nasional.
Strategi nasional disusun untuk melaksanakan politik nasional, misalnya
strategi jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang.
- Dasar Pemikiran Penyusunan Polstranas
Pengertian Politik
Kata “Politik” secara etimologis berasal dari bahasa Yunani Politeia, yang akar katanya adalah polis, berarti kesatuan masyarakat yang berdiri sendiri, yaitu negara dan teia, berarti urusan. Dalam bahasa Indonesia, politik dalam arti politics mempunyai makna kepentingan umum warga negara suatu bangsa. Politik merupakan rangkaian asas, prinsip, keadaaan, jalan, cara dan alat yang digunakan untuk mencapai tujuan tertentu yang kita kehendaki. Politics dan policy mempunyai hubungan yang erat dan timbal balik. Politics memberikan asas, jalan, arah, dan medannya, sedangkan policy memberikan pertimbangan cara pelaksanaan asas, jalan, dan arah tersebut sebaik-baiknya.
Kata “Politik” secara etimologis berasal dari bahasa Yunani Politeia, yang akar katanya adalah polis, berarti kesatuan masyarakat yang berdiri sendiri, yaitu negara dan teia, berarti urusan. Dalam bahasa Indonesia, politik dalam arti politics mempunyai makna kepentingan umum warga negara suatu bangsa. Politik merupakan rangkaian asas, prinsip, keadaaan, jalan, cara dan alat yang digunakan untuk mencapai tujuan tertentu yang kita kehendaki. Politics dan policy mempunyai hubungan yang erat dan timbal balik. Politics memberikan asas, jalan, arah, dan medannya, sedangkan policy memberikan pertimbangan cara pelaksanaan asas, jalan, dan arah tersebut sebaik-baiknya.
Politik secara umum menyangkut proses penentuan tujuan negara dan cara melaksanakannya. Pelaksanaan tujuan itu memerlukan kebijakan-kebijakan umum (public policies) yang menyangkut pengaturan, pembagian, atau alokasi sumber-sumber yang ada.
Dengan demikian, politik membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan negara, kekuasaan, pengambilan keputusan, kebijakan (policy), dan distribusi atau alokasi sumber daya.
Dengan demikian, politik membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan negara, kekuasaan, pengambilan keputusan, kebijakan (policy), dan distribusi atau alokasi sumber daya.
a. Negara
Negara merupakan suatu organisasi dalam satu wilayah yang memiliki kekuasaan tertinggi yang ditaati oleh rakyatnya.
Negara merupakan suatu organisasi dalam satu wilayah yang memiliki kekuasaan tertinggi yang ditaati oleh rakyatnya.
b. Kekuasaaan
Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginannya.
Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginannya.
c. Pengambilan Keputusan
Pengambilan keputusan adalah aspek utama politik. Jadi, politik adalah pengambilan keputusan melalui sarana umum dan keputusan yang diambil menyangkut sektor publik dari suatu negara.
Pengambilan keputusan adalah aspek utama politik. Jadi, politik adalah pengambilan keputusan melalui sarana umum dan keputusan yang diambil menyangkut sektor publik dari suatu negara.
d. Kebijakan Umum
Kebijakan (policy) merupakan suatu kumpulan keputusan yang diambil oleh seseorang atau kelompok politik dalam memilih tujuan dan cara mencapai tujuan itu.
Kebijakan (policy) merupakan suatu kumpulan keputusan yang diambil oleh seseorang atau kelompok politik dalam memilih tujuan dan cara mencapai tujuan itu.
e. Distribusi
Distribusi adalah pembagian dan pengalokasian nilai-nilai (value) dalam masyarakat. Nilai adalah sesuatu yang diinginkan dan penting, ia harus dibagi secara adil.
Distribusi adalah pembagian dan pengalokasian nilai-nilai (value) dalam masyarakat. Nilai adalah sesuatu yang diinginkan dan penting, ia harus dibagi secara adil.
Pengertian Strategi
Strategi berasal dari bahasa Yunani strategia yang diartikan sebagai “the art of the general” atau seni seorang panglima yang biasanya digunakan dalam peperangan. Karl von Clausewitz (1780-1831) berpendapat bahwa strategi adalah pengetahuan tentang penggunaan pertempuran untuk memenangkan peperangan. Sedangkan perang itu sendiri merupakan kelanjutan dari politik.
Strategi berasal dari bahasa Yunani strategia yang diartikan sebagai “the art of the general” atau seni seorang panglima yang biasanya digunakan dalam peperangan. Karl von Clausewitz (1780-1831) berpendapat bahwa strategi adalah pengetahuan tentang penggunaan pertempuran untuk memenangkan peperangan. Sedangkan perang itu sendiri merupakan kelanjutan dari politik.
Dalam pengertian umum, strategi adalah cara untuk mendapat-kan kemenangan atau pencapaian tujuan. Dengan demikian, strategi tidak hanya menjadi monopoli para jendral atau bidang militer, tetapi telah meluas ke segala bidang kehidupan.
Politik dan Strategi Nasional
Politik nasional diartikan sebagai kebijakan umum dan pengambilan kebijakan untuk mencapai suatu cita-cita dan tujuan nasional. Dengan demikian definisi politik nasional adalah asas, haluan, usaha serta kebijaksanaan negara tentang pembinaan (perencanaan, pengembangan, pemeliharaan, dan pengendalian) serta penggunaan kekuatan nasional untuk mencapai tujuan nasional. Sedangkan strategi nasional adalah cara melaksanakan politik nasional dalam mencapai sasaran dan tujuan yang ditetapkan oleh politik nasional.
Politik nasional diartikan sebagai kebijakan umum dan pengambilan kebijakan untuk mencapai suatu cita-cita dan tujuan nasional. Dengan demikian definisi politik nasional adalah asas, haluan, usaha serta kebijaksanaan negara tentang pembinaan (perencanaan, pengembangan, pemeliharaan, dan pengendalian) serta penggunaan kekuatan nasional untuk mencapai tujuan nasional. Sedangkan strategi nasional adalah cara melaksanakan politik nasional dalam mencapai sasaran dan tujuan yang ditetapkan oleh politik nasional.
Dasar Pemikiran Penyusunan Politik dan Strategi Nasional
Penyusunan politik dan strategi nasional perlu memahami pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam sistem manajemen nasional yang berlandaskan ideologi Pancasila, UUD 1945, Wawasan Nusantara, dan Ketahanan Nasional.
Penyusunan politik dan strategi nasional perlu memahami pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam sistem manajemen nasional yang berlandaskan ideologi Pancasila, UUD 1945, Wawasan Nusantara, dan Ketahanan Nasional.
Penyusunan Politik dan Strategi Nasional
Politik dan strategi nasional yang telah berlangsung selama ini disusun berdasarkan sistem kenegaraaan menurut UUD 1945. sejak tahun 1985 telah berkembang pendapat yang mengatakan bahwa jajaran pemerintah dan lembaga-lembaga yang tersebut dalam UUD 1945 merupakan “suprastruktur politik”. Lebaga-lembaga tersebut adalah MPR, DPR, Presiden, DPA, BPK, MA. Sedangkan badan-badan yang ada dalam masyarakat disebut sebagai “infrastruktur politik”, yang mencakup pranata politik yang ada dalam masyarakat, seperti partai politik, organisasi kemasyarakatan, media massa, kelompok kepentingan (interest group), dan kelompok penekan (pressure group). Suprastruktur dan infrastruktur politik harus dapat bekerja sama dan memiliki kekuatan yang seimbang.
Politik dan strategi nasional yang telah berlangsung selama ini disusun berdasarkan sistem kenegaraaan menurut UUD 1945. sejak tahun 1985 telah berkembang pendapat yang mengatakan bahwa jajaran pemerintah dan lembaga-lembaga yang tersebut dalam UUD 1945 merupakan “suprastruktur politik”. Lebaga-lembaga tersebut adalah MPR, DPR, Presiden, DPA, BPK, MA. Sedangkan badan-badan yang ada dalam masyarakat disebut sebagai “infrastruktur politik”, yang mencakup pranata politik yang ada dalam masyarakat, seperti partai politik, organisasi kemasyarakatan, media massa, kelompok kepentingan (interest group), dan kelompok penekan (pressure group). Suprastruktur dan infrastruktur politik harus dapat bekerja sama dan memiliki kekuatan yang seimbang.
Mekanisme penyusunan politik dan strategi nasional di itngkat suprastruktur politik diatur oleh presiden/mandataris MPR. Sedangkan proses penyusunan politik dan strategi nasional di tingkat suprastruktur politk dilakukan setelah presiden menerima GBHN.
Strategi nasional dilaksanakan oleh para menteri dan pimpinan lembaga pemerintah non departemen berdasarkan petunjuk presiden, yang dilaksanakan oleh presiden sesungguhnya merupakan politik dan strategi nasional yang bersifat pelaksanaan.
Pandangan masyarakat terhadap kehidupan politik, ekonomi, sosial budaya, maupun bidang Hankam akan selalu berkembang karena:
a. Semakin tinggina kesadaran bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
b. Semakin terbukanya akal dan pikiran untuk memperjuangkan haknya.
c. Semakin meningkatnya kemampuan untuk menentukan pilihan dalam pemenuhan kebutuhan hidup.
d. Semakin meningkatnya kemampuan untuk mengatasi persoalan seiring dengan semakin tingginya tingkat pendidikan yang ditunjang oleh kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
e. Semakin kritis dan terbukanya masyarakat terhadap ide baru.
a. Semakin tinggina kesadaran bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
b. Semakin terbukanya akal dan pikiran untuk memperjuangkan haknya.
c. Semakin meningkatnya kemampuan untuk menentukan pilihan dalam pemenuhan kebutuhan hidup.
d. Semakin meningkatnya kemampuan untuk mengatasi persoalan seiring dengan semakin tingginya tingkat pendidikan yang ditunjang oleh kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
e. Semakin kritis dan terbukanya masyarakat terhadap ide baru.
Sertifikasi Politik Nasional
Sertifikasi politik (kebijakan) nasional dalam Negara Republik Indonesia adalah sebagai berikut:
a. Tingkat Penentu Kebijakan Puncak
1). Tingkat kebijakan puncak meliputi Kebijakan tertinggi yang menyeluruh secara nasional dan mencakup: penentuan Undang-undang Dasar, penggarisan masalah makro politik bangsa dan negara untuk merumuskan idaman nasional (national goals) berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. kebijakan tingkat puncak ini dilakukan oleh MPR dengan hasil rumusan dalam GBHN dan ketapan MPR.
2). Dalam hal dan keadaaan yang menyangkut kekuasaan kepala negara seperti tercantum pada pasal-pasal 10 s.d. 15 UUD 1945, tingkat penentuan kebijakan puncak ini juga menackup kewenangan presiden sebagai kepala negara.
Sertifikasi politik (kebijakan) nasional dalam Negara Republik Indonesia adalah sebagai berikut:
a. Tingkat Penentu Kebijakan Puncak
1). Tingkat kebijakan puncak meliputi Kebijakan tertinggi yang menyeluruh secara nasional dan mencakup: penentuan Undang-undang Dasar, penggarisan masalah makro politik bangsa dan negara untuk merumuskan idaman nasional (national goals) berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. kebijakan tingkat puncak ini dilakukan oleh MPR dengan hasil rumusan dalam GBHN dan ketapan MPR.
2). Dalam hal dan keadaaan yang menyangkut kekuasaan kepala negara seperti tercantum pada pasal-pasal 10 s.d. 15 UUD 1945, tingkat penentuan kebijakan puncak ini juga menackup kewenangan presiden sebagai kepala negara.
b. Tingkat Kebijakan Umum
Tingkat kebijakan umum merupakan tingkat kebijakan di bawah tingkat kebijakan puncak, yang lingkupnya juga menyeluruh nasional. Hasil-hasilnya dapat berbentuk:
1). Undang-undang yang kekuasaan pembuatannya terletak di tangan presiden dengan persetujuan DPR (UUD 1945 pasal 5 ayat (1) ).
2). Peraturan pemerintah untuk mengatur pelaksanaan undang-undang yang wewenang penerbitannya berada di tangan presiden (UUD 1945 pasal 5 ayat (2) ).
3). Keputusan atau instruksi presiden, yang berisi kebijakan-kebijakan penyelenggaraan pemerintahan yang wewenang pengeluarannya berada di tangan presiden (UUD 1945 pasal 4 ayat (1) ).
4). Dalam keadaan tertentu dapat pula dikeluarkan Maklumat Presiden.
Tingkat kebijakan umum merupakan tingkat kebijakan di bawah tingkat kebijakan puncak, yang lingkupnya juga menyeluruh nasional. Hasil-hasilnya dapat berbentuk:
1). Undang-undang yang kekuasaan pembuatannya terletak di tangan presiden dengan persetujuan DPR (UUD 1945 pasal 5 ayat (1) ).
2). Peraturan pemerintah untuk mengatur pelaksanaan undang-undang yang wewenang penerbitannya berada di tangan presiden (UUD 1945 pasal 5 ayat (2) ).
3). Keputusan atau instruksi presiden, yang berisi kebijakan-kebijakan penyelenggaraan pemerintahan yang wewenang pengeluarannya berada di tangan presiden (UUD 1945 pasal 4 ayat (1) ).
4). Dalam keadaan tertentu dapat pula dikeluarkan Maklumat Presiden.
c. Tingkat Penentuan Kebijakan Khusus
Kebijakan khusus merupakan penggarisan terhadap suatu bidang utama (major area) pemerintahan.
Kebijakan khusus merupakan penggarisan terhadap suatu bidang utama (major area) pemerintahan.
d. Tingkat Penentuan KebijakanTeknis
Kebijakan teknis merupakan penggarisan dalam satu sektor dari bidang utama di atas dalam bentuk prosedur serta teknik untuk mengimplementasikan rencana, program, dan kegiatan.
Kebijakan teknis merupakan penggarisan dalam satu sektor dari bidang utama di atas dalam bentuk prosedur serta teknik untuk mengimplementasikan rencana, program, dan kegiatan.
e. Dua Macam Kekuasaan dalam Pembuatan Aturan di Daerah
1). Wewenang penentuan pelaksanaan kebijakan pemerintah pusat di daerah terletak di tangan gubernur dalam kedudukannya sebagai wakil pemerintah pusat di daerah yuridikasinya masing-masing.
2). Kepala Daerah berwenang mengeluarkan kebijakan pemerintah daerah dengan persetujuan DPRD.
1). Wewenang penentuan pelaksanaan kebijakan pemerintah pusat di daerah terletak di tangan gubernur dalam kedudukannya sebagai wakil pemerintah pusat di daerah yuridikasinya masing-masing.
2). Kepala Daerah berwenang mengeluarkan kebijakan pemerintah daerah dengan persetujuan DPRD.
Politik Pembangunan Nasional dan Manajemen Nasional
Tujuan politik bangsa Indonesia telah tercantum dalam Pembukaan UUD 1945aline ke-4, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
a. Makna Pembangunan Nasional
Pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia dan masyarakat Indonesia secara berkelanjutan dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta memperhatikan tantangan perkembangan global.
Tujuan politik bangsa Indonesia telah tercantum dalam Pembukaan UUD 1945aline ke-4, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
a. Makna Pembangunan Nasional
Pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia dan masyarakat Indonesia secara berkelanjutan dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta memperhatikan tantangan perkembangan global.
Tujuan pembangunan nasional itu sendiri adalah sebagai usaha untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh bangsa Indonesia.
b. Manajemen Nasional
Manajemen nasional pada dasarnya merupakan sebuah sistem, sehingga lebih tepat jika kita menggunakan istilah “sistem manajemen nasional”. Orientasinya adalah pada penemuan dan pengenalan (identifikasi) faktor-faktor strategis serta menyeluruh dan terpadu.
Pada dasarnya sistem manajemen nasional merupakan perpaduan antara tata nilai, struktur, dan proses untuk mencapai kehematan, daya guna, dan hasil guna sebesar mungkin dalam menggunakan sumber dana dan daya nasional demi mencapai tujuan nasional.
a. Unsur, Struktur, dan Proses
Unsur-unsur utama sistem manajemen nasional dalam bidang ketatanegaraan meliputi:
1). Negara sebagai “organisasi kekausaan” mempunyai hak dan peranan atas pemilikan, pengaturan, dan pelayanan yang diperlakukan dalam mewujudkan cita-cita bangsa.
2). Bangsa Indonesia sebagai unsur “Pemilik Negara” berperan dalam menentukan sistem nilai dan arah/haluan/kebijak-sanaan negara yang digunakan sebagai landasan dan pedoman bagi penyelenggaraan fungsi-fungsi negara.
3). Pemerintah sebagai unsur “Manajer atau Penguasa” berperan dalam penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerin-tahan umum dan pembangunan kearah cita-cita bangsa dan kelangsungan serta pertumbuhan negara.
4). Masyarakat adalah unsur “Penunjang dan Pemakai” yang berperan sebagai kontributor, penerima, dan konsumen bagi berbagai hasil kegiatan penyelenggaraan fungsi pemerintahan tersebut di atas.
Sejalan dengan pokok pikiran di atas, unsur-unsur utama SISMENNAS tersebut secara struktural tersusun atas emapt tatanan (setting). Yang dilihat dari dalam ke luar adalah Tata Laksana Pemerintahan (TLP), Tata Administrasi Negara (TAN), Tata Politik Nasional (TPN), dan Tata Kehidupan Masyrakat (TKM).
Manajemen nasional pada dasarnya merupakan sebuah sistem, sehingga lebih tepat jika kita menggunakan istilah “sistem manajemen nasional”. Orientasinya adalah pada penemuan dan pengenalan (identifikasi) faktor-faktor strategis serta menyeluruh dan terpadu.
Pada dasarnya sistem manajemen nasional merupakan perpaduan antara tata nilai, struktur, dan proses untuk mencapai kehematan, daya guna, dan hasil guna sebesar mungkin dalam menggunakan sumber dana dan daya nasional demi mencapai tujuan nasional.
a. Unsur, Struktur, dan Proses
Unsur-unsur utama sistem manajemen nasional dalam bidang ketatanegaraan meliputi:
1). Negara sebagai “organisasi kekausaan” mempunyai hak dan peranan atas pemilikan, pengaturan, dan pelayanan yang diperlakukan dalam mewujudkan cita-cita bangsa.
2). Bangsa Indonesia sebagai unsur “Pemilik Negara” berperan dalam menentukan sistem nilai dan arah/haluan/kebijak-sanaan negara yang digunakan sebagai landasan dan pedoman bagi penyelenggaraan fungsi-fungsi negara.
3). Pemerintah sebagai unsur “Manajer atau Penguasa” berperan dalam penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerin-tahan umum dan pembangunan kearah cita-cita bangsa dan kelangsungan serta pertumbuhan negara.
4). Masyarakat adalah unsur “Penunjang dan Pemakai” yang berperan sebagai kontributor, penerima, dan konsumen bagi berbagai hasil kegiatan penyelenggaraan fungsi pemerintahan tersebut di atas.
Sejalan dengan pokok pikiran di atas, unsur-unsur utama SISMENNAS tersebut secara struktural tersusun atas emapt tatanan (setting). Yang dilihat dari dalam ke luar adalah Tata Laksana Pemerintahan (TLP), Tata Administrasi Negara (TAN), Tata Politik Nasional (TPN), dan Tata Kehidupan Masyrakat (TKM).
b. Fungsi Sistem Manajemen Nasional
SISMENNAS memiliki fungsi pokok “pemsyrakatan politik” Hal ini berarti segenap usaha dan kegiatan SISMENNAS diarahkan kepada penjaminan hak dan penertiban kewajiban rakyat. Hak rakyat pada pokoknya adalah terpenuhinya berbaai kepentingan, sedangkan kewajiban rakyat pada pokoknya adalah keikutsertaaan dan tanggung jawab atas terbentuknya situasi dan kondisi kewarganegaraan yang baik.
SISMENNAS memiliki fungsi pokok “pemsyrakatan politik” Hal ini berarti segenap usaha dan kegiatan SISMENNAS diarahkan kepada penjaminan hak dan penertiban kewajiban rakyat. Hak rakyat pada pokoknya adalah terpenuhinya berbaai kepentingan, sedangkan kewajiban rakyat pada pokoknya adalah keikutsertaaan dan tanggung jawab atas terbentuknya situasi dan kondisi kewarganegaraan yang baik.
Dalam proses Arus Masuk terdapat dua fungsi, yaitu pengenalan kepentingan dan pemilihan kepemimpinan. Sedangkan pada aspek Arus Keluar, SISMENNAS diharapkan menghasilkan:
1. Aturan, norma, patokan, pedoman, dan lain-lain, yang secara singkat dapat disebut kebijaksanaan umum.
2. Penyelenggaraan, penerapan, penegakan, maupun pelaksanaan berbagai kebijaksanaan nasional.
3. Penyelesaian segala macam perselisihan, pelanggaran, dan penyelewengan yang timbul sehubungan dengan kebijaksanaan umum serta program tersebut dalam rangka pemeliharaan tertib hukum.
1. Aturan, norma, patokan, pedoman, dan lain-lain, yang secara singkat dapat disebut kebijaksanaan umum.
2. Penyelenggaraan, penerapan, penegakan, maupun pelaksanaan berbagai kebijaksanaan nasional.
3. Penyelesaian segala macam perselisihan, pelanggaran, dan penyelewengan yang timbul sehubungan dengan kebijaksanaan umum serta program tersebut dalam rangka pemeliharaan tertib hukum.
Otonomi Daerah
Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang merupakan salah satu wujud politik dan strategi nasional secara teoritis telah memberikan dua bentuk otonomi kepada dua daerah, yaitu otonomi terbatas bagi daerah propinsi dan otonomi luas bagi daerah Kabupaten/Kota. Perbedaan Undang-undang yang lama dan yang baru ialah:
1. Undang-undang yang lama, titik pandang kewenangannya dimulai dari pusat (central government looking).
2. Undang-undang yang baru, titik pandang kewenangannya dimulai dari daerah (local government looking).
Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang merupakan salah satu wujud politik dan strategi nasional secara teoritis telah memberikan dua bentuk otonomi kepada dua daerah, yaitu otonomi terbatas bagi daerah propinsi dan otonomi luas bagi daerah Kabupaten/Kota. Perbedaan Undang-undang yang lama dan yang baru ialah:
1. Undang-undang yang lama, titik pandang kewenangannya dimulai dari pusat (central government looking).
2. Undang-undang yang baru, titik pandang kewenangannya dimulai dari daerah (local government looking).
Kewenangan Daerah
1. Dengan berlakunya UU No. 22 tahun 1999tenang Otonomi Daerah, kewenagan daerah mencakup seluruh kewenangan bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain.
2. Kewenagnan bidang lain, meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan secara makro.
3. Bentuk dan susunan pemerintahan daerah,
a. DPRD sebagai badan legislatif daerah dan pemerintah daerah sebagai eksekutif daerah dibentuk di daerah.
b. DPRD sebagai lwmbaga perwakilan rakyat di daerah merupakan wahanauntukmelaksanakan demokrasi
1). Memilih Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota.
2). Memilih anggota Majelis Permusawartan Prakyat dari urusan Daerah.
3). Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Gubernur/ Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota.
4. Membentuk peraturan daerah bersama gubernur, Bupati atas Wali Kota.
5. Menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) bersama gubernur, Bupati, Walikota.
6. Mengawasi pelaksanaan keputusan Gubernur, Bupati, dan Walikota, pelaksanaan APBD, kebijakan daerah, pelaksanaan kerja sama internasional di daerah, dan menampung serta menindak-lanjuti aspirasi daerah dan masyarakat.
1. Dengan berlakunya UU No. 22 tahun 1999tenang Otonomi Daerah, kewenagan daerah mencakup seluruh kewenangan bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain.
2. Kewenagnan bidang lain, meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan secara makro.
3. Bentuk dan susunan pemerintahan daerah,
a. DPRD sebagai badan legislatif daerah dan pemerintah daerah sebagai eksekutif daerah dibentuk di daerah.
b. DPRD sebagai lwmbaga perwakilan rakyat di daerah merupakan wahanauntukmelaksanakan demokrasi
1). Memilih Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota.
2). Memilih anggota Majelis Permusawartan Prakyat dari urusan Daerah.
3). Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Gubernur/ Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota.
4. Membentuk peraturan daerah bersama gubernur, Bupati atas Wali Kota.
5. Menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) bersama gubernur, Bupati, Walikota.
6. Mengawasi pelaksanaan keputusan Gubernur, Bupati, dan Walikota, pelaksanaan APBD, kebijakan daerah, pelaksanaan kerja sama internasional di daerah, dan menampung serta menindak-lanjuti aspirasi daerah dan masyarakat.
Implementasi Politik dan Strategi Nasional yang Mencakup Bidang-bidang Pembangunan Nasional
1. Visi dan Misi GBHN 1999-2004
Terwujudnya masyarakat Indonesia yang damai, demokratis, berkeadilan, berdaya saing, maju, dan sejahtera dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2. Implementasi Polstranas di Bidang Hukum
3. Implementasi Polstranas di Bidang Ekonomi
4. Implementasi Polstranas di Bidang Politik
a. Politik Dalam Negeri.
b. Politik Luar Negeri.
c. Penyelenggaraan Negara.
d. Komunikasi, Informasi, dan Media Massa.
e. Agama.
f. Pendidikan.
5. Implementasi di Bidang Sosial dan Budaya
a. Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial.
b. Kebudayaan, Kesenian, dan Pariwisata.
c. Kedudukan dan Peranan Perempuan.
d. Pemuda dan Olahraga.
e. Pembangunan Daerah.
f. Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup.
6. Implementasi di Bidang Pertahanan dan Keamanan
a. Kaidah Pelaksanaan.
b. Keberhasilan Politik dan Strategi Nasional.
1. Visi dan Misi GBHN 1999-2004
Terwujudnya masyarakat Indonesia yang damai, demokratis, berkeadilan, berdaya saing, maju, dan sejahtera dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2. Implementasi Polstranas di Bidang Hukum
3. Implementasi Polstranas di Bidang Ekonomi
4. Implementasi Polstranas di Bidang Politik
a. Politik Dalam Negeri.
b. Politik Luar Negeri.
c. Penyelenggaraan Negara.
d. Komunikasi, Informasi, dan Media Massa.
e. Agama.
f. Pendidikan.
5. Implementasi di Bidang Sosial dan Budaya
a. Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial.
b. Kebudayaan, Kesenian, dan Pariwisata.
c. Kedudukan dan Peranan Perempuan.
d. Pemuda dan Olahraga.
e. Pembangunan Daerah.
f. Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup.
6. Implementasi di Bidang Pertahanan dan Keamanan
a. Kaidah Pelaksanaan.
b. Keberhasilan Politik dan Strategi Nasional.
·
Penyusunan
PSN dan Stratifikasi PSN Daerah
Politik dan strategi nasional yang telah berlangsung selama
disusun berdasarkan sistem kenegaraan yang menurut UUD 1945. Sejak tahun 1985
telah berkembang pendapat yang menyatakan jajaran sebuah pemerintah dan
lembaga-lembaga tersebut dalam UUD 1945 disebut sebagai “Suprastruktur
Politik”, yaitu MPR, DPR, Presiden, BPK dan MA. Sedangkan badan-badan yang ada
dalam suatu masyarakat disebut sebagai “Infrastruktur Politik”, yang mencangkup
pranata-pranata politik yang ada dalam masyarakat, seperti partai politik,
organisasi kemasyarakatan, media massa, kelompok kepentingan (Interest Group)
dan kelompok penekan. Antara suprastruktur dan infrastruktur politik harus
dapat bekerja sama dan memiliki kekuatan yang seimbang.
Mekanisme penyusunan politik dan strategi nasional ditingkat
suprastruktur politik diatur oleh presiden (mandataris MPR). Dalam pelaksanaan
tugasnya, presiden dibantu oleh lembaga-lembaga tinggi negara lainnya serta
dewan-dewan yang merupakan badan koordinasi seperti dewan stabilitas ekonomi
nasional, dewan pertahanan nasional RI, dewan maritim, dewan otonomi daerah,
dewan stabilitas politik dan keamanan.
Proses politik dan strategi politik nasional dinfrastruktur
politik merupakan sasaran yang akan dicapai oleh rakyat Indonesia dalam rangka
pelaksanaan strategi nasional yang meliputi bidang ideologi, politik, ekonomi,
sosial budaya, dan pertahanan dan keamanan. Sesuai dengan kebijakan politik
nasional maka penyelenggara Negara harus mengambil langkah-langah untuk
melakukan pembinaan terhadap semua lapisan masyarakat dengan mencantumkan
sebagian sasaran sektoralnya. Melalui pranata-pranata politik masyarakat ikut
berpartisipasi dalam kehidupan politik nasional. Dalam era reformasi saat ini
peranan masyarakat dalam mengontrol jalannya politik dan strategi nasional yang
telah ditetapkan MPR maupun yang dilaksanakan oleh presiden sangat besar
sekali. Pandangan – pandangan masyarakat terhadap kehidupan politik, ekonomi
dll itu, selalu berkembang pada saat ini, dikarenakan
1. Semakin
tingginya kesadaran masyarakat dalam berbangsa dan bernegara
2. Semakin
terbukanya akal dan pikiran untuk memperjuangkan haknya.
3. Semakin
meningkatnya kemampuan untuk menentukan pilihan dalam pemenuhan kebutuhan
hidup.
4. Semakin
meningkatnya kemampuan untuk mengatasi persoalan dengan berjalannya semakin
tinggi tingkat pendidikan yang ditunjak oleh IPTEK.
5. Semakin
kritus dan terbukanya pikiran masyarakat dengan ide-ide baru.
·
Implementasu Polstranas
Implementasi berarti penerapan. Jadi, implementasi politik
strategi nasional adalah penerapan politik strategi nasional dalam beberapa
pembagian yang terdiri dari:
· Implementasi
di bidang Hukum
a. Mengembangkan budaya hukum disemua
lapisan masyarakat untuk terciptanya kesadaran dan kepatuhan hukum dalam
supremasi hukum dan penegakkan negara hukum.
b. Menata sistem hukum nasional yang menyeluruh
dan terpadu dengan mengakui, menghormati, dan mematuhi juga menjadikannya
pedoman hukum agama dan hukum adat serta memperbarui perundang-undangan yang
disesuaikan dengan situasi dan kondisi sekarang serta perubahan jaman yang
berpedoman kepada Pancasila dan juga UUD 1945 dari jaman warisan kolonial dan
hukum nasional yang diskriminatif, termasuk ketidakadilan fender dan
ketidaksesuainya dengan reformasi melalui program legalisasi.
c. Menegakkan hukum secara konsisten untuk lebih
menjamin kepastian hukum, keadilan dan kebenaran, supremasi hukum, serta
menghargai hak asasi manusia.
d. Melanjutkan ratifikasi konvensi internasional
terutama yang berkaitan dengan hak asasi manusia sesuai dengan kebutuhan dan
kepentingan bangsa dalam bentuk undang-undang
e. Meningkatkan integritas moral dan keprofesionalan
aparat penegak hukum, termasuk kepolisian negara republik indonesia, untuk
menumbuhkan kepercayaan masyarakat dengan meningkatkan kesejahteraan, dukngan
sarana dan prasarana hukum, pendidikan, serta pengawasan yang efektif.
f. Mewujudkan lembaga peradilan yang
mandiri dan bebas dari pengaruh penguasa dan pihak lainnya.
g. Mengembangkan peraturan perundang-undangan yang
mendukung kegiatan perekonomian dalam mengahadapi globalisasi tanpa merugikan
kepentingan nasional.
h. Menyelengarakan proses peradilan
secara cepat, mudah, murah dan terbuka, serta bebas kkn dengan tetap menjunjung
tinggi asas keadilan dan kebenaran.
i. Meningkatkan pemahaman dan
penyadaran serta meningkatkan perlindungan. Menghormati dan menegakkna HAM
dalam seluruh aspek kehidupan.
j. Menyelesaikan berbagai
proses peradilan terhadap pelanggaran hukum dan HAM yang belum terungkap.
· Implementasi
di bidang Ekonomi
a. Mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan yang
bertumpu pada mekanisme pasar yang berkeadilan dengan prinsip kerakyatan yaitu
dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat. Dengan persaingan sehat dan memperhatikan
pertumbuhan ekonomi, nilai keadilan, kepentingan sosial, kualitas hidup, dll
untuk kepentingan rakyat.
b. Mengembangkan persaingan yang sehat dan adil
serta menghindarkan terjadinya struktur pasar monopoli dan monopili dan
monpsoni yang merugikan rakyat.
c. Mengoptimalkan peran pemerintah dalam
menyempurnakan pasar.
d. Mengupayakan hidup yang layak berdasarkan
atas kemanusiaan yang adil bagi masyarakat terutama fakir miskin dan anak
terlantar.
e. Mengembangkan perekonomian berorientasi
global.
f. Mengelola kebijakan mikro dan
makro secara terkordinasi dan sinergis.
g. Mengembangkan kebijakan fiskal dengan
prinsip transparan, disiplin, adil, efisien dan efektif.
h. Mengembangkan pasar modal.
i. Mengoptimalkan pinjaman
luar negri dengan efektif untuk pembangunan ekonomi negara.
· Implementasi
di bidang Politik
a. Memperkuat hubungan, keberadaana dan
kelangsungan NKRI yang bertumpu pada bhineka tunggal ika untuk menyelesaikan
maslah-masalah negara, bangsa dan masyarakat Indonesia.
b. Menyempurnakan undang-undang
sejalan dengan perkembangan bangsa.
c. Meningkatkan peran badan dan lembaga hukum
negara secara efektif dan bersinergisa dengan tujuan nasional.
d. Mengembangkan sistem politik
nasional yang demokratis dan terbuka.
e. Meningkatkan pendidikan politik
kepada masyarakat sedini mungkin.
f. Menerapkan prinsip
persamaan dan anti diskriminatif.
g. Menyelenggarakan
pemilihan umum secara trasnpara, terbuka, jujur, adil, bebas dan tidak adanya
unsur pemaksaan dan kkn.