Halaman

Senin, 30 September 2013

The Perks of Being a Wallflower review (movie review)


Terlalu mudah untuk mengatakan bahwa akan timbul rasa tidak yakin kepada film remaja dengan tema cerita romantis. Mayoritas dari mereka akan tampil klise, dengan karakter-karakter klasik dan konyol yang telah sering anda temukan sebelumnya, dan tidak mampu menghadirkan permainan emosi yang menarik. The Perks of Being a Wallflower bukan bagian dari mereka, sebuah film remaja yang bahkan mungkin mampu membuat orang dewasa tersenyum diakhir cerita.

Charlie (Logan Lerman), merupakan tokoh yang memiliki karakteristik klasik, seorang remaja pintar yang akhirnya menjadi pihak terasing di lingkungan sosialnya. Sejak awal tokoh satu ini telah membawa misteri kedalam cerita, menulis surat kepada seseorang dan menceritakan bahwa dia pernah masuk rumah sakit, serta rencananya pada hari pertama ia di high school, lebih membayangkan indahnya ketika ia telah lulus kelak yang bahkan masih berjarak 1000-an hari lagi, dan diam ketika diberikan pertanyaan oleh guru bahasa inggrisnya, Mr.Anderson (Paul Rudd), meskipun ia tahu jawabannya.

Kasarnya, Charlie adalah orang buangan, dan memiliki masa lalu kelam yang menjadi sebuah misteri. Apa yang ia coba lakukan adalah keluar dari masa lalu tersebut. Charlie bertemu Patrick (Ezra Miller), seorang senior yang sangat antusias pada semua hal yang ia lakukan, pria yang juga merupakan kaum buangan. Hadir pula Sam (Emma Watson), perempuan yang merupakan stepsister Patrick, dan sudah mendapatkan pengalaman seksual sejak usia dini. Mereka dan dua teman lainnya semakin akrab sebagai sebuah kelompok, hingga hari kelulusan tiba.


Sulit untuk menyebutkan secara pasti apa “goal” utama dari film ini dari segi cerita, seperti film superhero dengan keberhasilan menyelamatkan bumi sebagai tujuannya. The Perks of Being a Wallflower ibarat sebuah pelajaran dalam bentuk visual dari seorang Stephen Chbosky. Mengadaptasi cerita dari novel yang ia punya, Chbosky ingin mengajak anda menyaksikan kembali betapa infinite-nya kehidupan yang kita miliki.

Kinerja Chbosky sangat memukau di film ini. Menggabungkan tema remaja dan romance bukanlah sebuah pekerjaan yang mudah, karena jika melakukan sedikit saja kesalahan maka semua akan jadi tampak murahan. Chbosky berhasil membuat rasa cemas saya diawal hilang begitu saja ketika film perlahan mulai meninggalkan garis awalnya. Dia memiliki materi yang sangat kuat, menulis sendiri screenplay dari novel yang ia punya. Hasilnya, anda tidak akan menemukan kisah bullshit yang banyak diterapkan film remaja saat ini.

Cerita yang film ini miliki terbentuk dengan sangat rapi. Dibuka dengan seorang siswa baru yang berhasil memperoleh teman baru, kemudian anda akan menyaksikan kisah cinta yang sulit dari Charlie dan Sam (ya, tidak perlu di spoiler), hadirnya sebuah rasa cinta baru yang terkesan terpaksa dan akhirnya menjengkelkan, hingga sebuah memori kelam dimasa lalu yang menghancurkan seseorang yang sedang dirundung kesedihan. Ya, beberapa memang terlihat sama saja dengan film remaja lainnya, namun Chbosky menghadirkan sebuah formula yang bekerja dengan sangat baik, tidak banyak dialog yang tidak penting, singkat namun berhasil menjadikan karakter dalam cerita semakin terasa real, tanpa harus tampil berlebihan.

Ya, saya sangat suka karakter yang dimiliki film ini (termasuk Mary Elizabeth (Mae Whitman), karakter pendukung yang dimanfaatkan dengan baik oleh Chbosky). Mereka berhasil membentuk sebuah tim yang sangat kuat. Dengan setiap dialog yang mereka punya, mereka mampu menyampaikan emosi yang mereka rasakan. Ah, sangat indah. Anda akan ikut merasakan ketika mereka jatuh cinta, sakitnya menyaksikan orang yang anda cintai bermesraan dengan orang lain, hingga ketika anda dibuang begitu saja oleh orang yang anda kasihi. Dan yang paling menarik adalah mereka sukses menjadikan saya merindukan masa-masa high school, bersenang-senang tanpa beban yang begitu berat.

The Perks of Being a Wallflower adalah salah satu film yang paling mengejutkan tahun ini, dan Stephen Chbosky adalah salah satu pendatang baru yang mampu membuat anda menaruh perhatian lebih kepadanya. Ya, memang secara teknis film ini tidak begitu special, tapi Chbosky pintar menutupi hal tersebut melalui screenplay dengan membentuk banyak momen-momen unforgettable dibalut soundtrack yang fantastis. Dimulai dari cara Charlie ketika memasuki lantai dansa, ciuman pertama Charlie, saat Charlie melihat jam untuk menghitung sisa waktunya bersama Sam, hingga ketika Sam berdiri bebas di sebuah mobil bak terbuka milik Patrick yang sedang melaju didalam terowongan dimalam hari. Chbosky juga ingin agar anda tidak begitu pusing dengan konflik pendukung yang ia berikan, hadir sejenak dan berhasil menyampaikan pesan kecilnya, kemudian hilang begitu saja, sehingga fokus utama cerita tetap menjadi daya tarik utama.

Seperti yang saya sebutkan tadi, cast yang dimiliki oleh The Perks of Being a Wallflower berhasil memberikan performa efektif, salah satu yang terbaik tahun ini. Logan Lerman berhasil mengubah penilaian saya, dan mungkin banyak orang pada dirinya melalui penampilan yang manis. Dia sangat sukses ketika membentuk suasana cemas, dan juga suasana romantis. Ya, ia lebih cocok dengan karakter tenang seperti Charlie, ketimbang menjadi manusia super. Emma Watson, berhasil menjadikan saya tidak merasakan kehadiran Hermione didalam dirinya, tidak seperti penampilannya di My Week with Marylin. Watson sukses membentuk Sam sebagai karakter yang layak menjadi sasaran tembak bagi semua pria, nakal namun manis, loveable, dengan permainan emosi yang sangat efektif. Just prepare yourself, karena jika Watson terus berada di jalur seperti ini bukan tidak mungkin beberapa tahun kedepan anda tidak lagi mengenal Watson sebagai seorang penyihir cilik yang pintar dan manis, namun sebagai femme fatale yang seksi dan menawan, pujaan banyak pria. Dan untuk Ezra Miller cukup empat kata, scene-stealer yang fantastis.

Overall, The Perks of Being a Wallflower adalah film yang sangat memuaskan. Sebuah kisah cinta dan persahabatan yang memiliki semua elemen kehidupan, mampu membuat anda bergembira dengan jiwa-jiwa bebas khas high school, dan membuat anda merasakan sakitnya cinta dan memori masa lalu yang terus menghantui. Dengan banyak momen lucu dan sedih, film ini berjalan lembut dan cepat dari menit awal, berhasil sedikit menipu dengan misteri dari karakternya. Memang ada sebuah konflik mengejutkan diakhir cerita, sedikit keluar dari jalur, namun tetap berhasil menciptakan sebuah klimaks. Dengan dialog-dialog khas remaja, The Perks of Being a Wallflower sukses sebagai salah satu film yang memiliki permainan emosional terbaik di tahun ini. Ya, selalu ada tempat spesial untuk film dengan permainan emosi yang menawan.


dikutip oleh : http://rorypnm.blogspot.com